Fudhail bin ‘lyadh pernah ditanya tentang sikap rendah hati. la menjawab, “Engkau tunduk pada kebenaran dan patuh padanya. Seandainya engkau mendengar kebenaran itu dari seorang anak kecil, engkau menerimanya. Seandainya engkau mendengarnya dari orang yang paling bodoh, engkau pun menerimanya.”
Qatadah mengatakan, “Barang siapa diberi anugerah berupa harta benda, ketampanan, pakaian, atau ilmu, lalu ia tidak bersikap rendah hati atas anugerah-anugerah itu, maka pada Hari Kiamat semua hal itu akan menjadi kecelakaan baginya.”
Allah Swt. berfirman kepada Nabi Isa a.s., Jika Aku memberikan nikmat kepadamu, sambutlah nikmat itu dengan sikap rendah hati. Maka, Aku pun akan menyempurnakan nikmat tersebut kepadamu.
Ka’ab Al-Ahbar mengatakan, “Jika Allah memberi nikmat kepada seorang hamba, lalu hamba itu bersyukur dan bersikap rendah hati atasnya, niscaya Allah akan memberikan manfaat dari nikmat itu kepadanya sewaktu di dunia dan meninggikan derajatnya di akhirat. Adapun jika hamba itu tidak bersyukur dan bersikap rendah hati, niscaya Allah akan mencegah datangnya manfaat dari nikmat itu kepadanya di dunia dan membuka satu lapisan neraka untuknya. Jika berkehendak, Allah akan mengazabnya atau mengampuninya.”
Jika pagi tiba, Nabi Sulaiman bin Daud a.s. melihat-lihat kondisi orang-orang kaya dan kalangan terpandang, hingga kaum miskin. Lalu beliau duduk bersama kaum miskin dan mengatakan, “Seorang miskin (selayaknya) bersama orang-orang miskin.”
Pada suatu ketika, Yunus bin Ubaid, Ayyub, dan Hasan Al-Bashri membicarakan tentang sikap rendah hati. Lalu Hasan mengatakan, “Rendah hati itu jika engkau keluar dari rumahmu, lalu engkau tidak menemukan seorang Muslim pun, kecuali engkau menganggapnya lebih utama daripada dirimu sendiri.” Ketika Yunus bin Ubaid pulang dari Arafah, ia mengatakan, “Aku tidak akan meragukan rahmat Allah. Namun sayang ketika aku bersama mereka justru aku khawatir mereka terhalang dari rahmat-Nya karena sebabku.”
Ziyad An-Namiri mengatakan, “Zuhud tanpa rendah hati bagaikan pohon tak berbuah.”
Malik bin Dinar mengatakan, ”Seandainya ada orang yang memanggil dari pintu masjid, ‘Orang yang paling buruk di antara kalian, keluarlah!’ Demi Allah, tidak akan ada orang yang mendahuluiku untuk keluar, kecuali jika ia lebih kuat dan cepat (secara fisik).” Tatkala perkataan Malik ini sampai ke telinga Ibnu Mubarak, Ibnu Mubarak mengatakan, “Karena inilah, Malik bin Dinar menjadi Malik (pemimpin orang saleh).”
Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan. “Barang siapa berhasrat menjadi pemimpin, ia tidak akan beruntung selamanya.”
Musa bin Qasim menceritakan. “Daerah kami dilanda gempa dan penyakit stroke. Lalu aku pergi menemui Muhammad bin Muqatil. Aku katakan kepadanya, ‘Anda imam kami. Maka, berdoalah unhak kami.’ Ibnu Muqatil lalu menangis dan mengatakan, Aku berharap bencana yang menimpa kalian bukan karena aku.’ Kemudian aku melihat Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam tidurku dan beliau mengatakan. ‘Sesungguhnya Allah—’azza wa jalla— membebaskan kalian dari bencana karena doa Muhammad bin Muqatil.'”
Diriwayatkan dari Abul Kath bin Syukhruf. “Aku melihat Ali bin Abi Thalib—karramalldhu wajhah—dalam tidurku. Lalu aku katakan kepadanya.’Nasihatilah aku.’ la menjawab.’Betapa indah kerendahan hati orang-orang kaya dalam perkumpulan orang-orang miskin, karena hasrat mereka terhadap pahala dari Allah. Namun, yang lebih indah dari itu adalah kekayaan hati orang-orang miskin di hadapan orang-orang kaya, karena keyakinan mereka yang tinggi kepada Allah— azza wa jalla.'”
Abu Yazid mengatakan, “Selama seorang hamba masih menganggap ada orang lain yang lebih buruk daripada dirinya maka ia orang sombong,” Ada yang bertanya, “Kapan seseorang dikatakan rendah hati?’ Abu Yazid menjawab. “jika ia tidak melihat pada dirinya terdapat kedudukan dan keistimewaan”
Level kerendahan hati seseorang selaras dengan level pengetahuannya terhadap Tuhannya dan dirinya sendin. Abu Sulaiman mengatakan. “Seandainya semua orang berkumpul untuk merendahkan aku sebagaimana aku meendahkan diriku sendiri, mereka tidak akan mampu.” Ada yang mengatakan bahwa, “Kemuliaan hanya bagi orang yang menghinakan dirinya karena Allah, kedudukan yang tinggi hanya bagi orang yang bersikap rendah hati karena Allah, rasa aman hanya bagi orang yang takut kepada Allah, dan keuntungan hanya bagi orang yang membeli dirinya dari Allah.”
Pada suatu hari jum’at, di majelisnya, al-junaid mengatakan, “Kalau bukan karena ada riwayat dari Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bahwa, “Pada akhir zaman nanti, pemimpin suatu kaum adalah orang yang paling hina di antara mereka,” niscaya aku tidak akan berbicara di hadapan kalian.
Amru bin Syaibah mengisahkan, “Ketika itu aku di Makkah, tepatnya di antara Shafa dan Marwah. Aku melihat seorang lelaki menunggang bagal. Bersamanya beberapa orang budak yang sedang mencela orang-orang. Beberapa waktu kemudian aku masuk ke Bagdad. Tiba-tiba aku berpapasan dengan seorang lelaki bertelanjang kaki dan tidak memakai tutup kepala. Aku pun memandanginya. Lelaki itu lalu bertanya, “Mengapa kaupandangi aku?” Aku menjawab, “Engkau seperti lelaki yang pernah kulihat di Makkah.” Aku pun menyebutkan ciri-ciri orang yang kulihat di Makkah. Lelaki itu mengatakan, “Itu aku.” Aku bertanya, “Apa yang Allah perbuat terhadapmu?” la pun menjawab, “Aku telah menyombongkan diri di tempat orang-orang bersikap rendah hati maka Allah pun menghinakan aku di tempat orang-orang membanggakan diri.”
Al-Mughirah menceritakan, “Kami menghormati Ibrahim An-Nakha’i, seperti hormat kami kepada pemimpin. la pernah mengatakan, ‘Sungguh, suatu masa ketika aku menjadi pakar fiqih di Kufah adalah zaman keburukan.'”
Adalah Atha’ As-Sulami, bilamana ia mendengar suara petir, ia berdiri, duduk, dan berkata, “Karena aku kalian mendapat musibah. Seandainya Atha’ telah mati, tentu manusia bisa tenang.”
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz