Pada prinsipnya, ikhlas adalah samanya kondisi hati saat beramal secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Sayyidina Umar r.a. pernah berkata kepada seorang lelaki, “Engkau harus beramal secara terangan-terangan.” Lelaki itu lantas bertanya, “Apa gerangan amal secara terang-terangan itu?” Umar menjelaskan, “Yaitu suatu amal yang jika dilihat orang, engkau tidak malu.” Abu Muslim Al-Khaulani mengatakan, “Aku tak pernah peduli pada amalku, apakah dilihat orang atau tidak, kecuali menggauli istri, buang air kecil, dan buang air besar.” Hanya saja, sikap seperti itu merupakan derajat yang tinggi, yang tidak bisa diperoleh oleh semua orang. Yang dilarang adalah menyembunyikan dosa dengan niat agar disangka sebagai orang yang wara’ dan senantiasa takut kepada Allah.
Adapun orang yang jujur. yang tulus hatinya (shadiq), boleh menutupi dosa-dosanya. Hal itu dibolehkan pada delapan motif sebagai berikut:
Pertama, seseorang gembira karena Allah menutupi aibnya. Apabila aib itu terbuka. ia khawatir Allah akan membukanya pada Hari Kiamat.
Kedua, seseorang menyadari bahwa Allah tidak menyukai tampaknya berbagai kemaksiatan. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw, “Siapa yang melakukan salah satu dari perbuatan kotor ini, hendaknya ia menutupinya dengan tirai Allah.” Dengan demikian. ia tidak mengosongkan hatinya dari cinta terhadap apa yang dicintai Allah. Dampak dari ketulusan sikapnya ialah ia pun tidak senang dan sedih melihat kemaksiatan yang dilakukan orang lain.
Ketiga, seseorang tidak menyukai celaan orang kepadanya dari sudut pandang bahwa celaan itu menyibukkan hati dan akalnya sehingga keduanya melalaikan Allah. Karena alasan itu pula, ia seharusnya membenci pujian yang membuatnya melalaikan Allah. Sikap seperti ini bersumber pada iman yang kuat.
Keempat, seseorang menyembunyikan aibnya dan membenci celaan orang karena bisa membuat hati terluka. Adapun mengkawatirkan teriukanya hati bukan termasuk perbuatan yang dilarang. Yang dilarang adalah apabila celaan membuatnya sedih dan mendorongnya untuk melakukan hal yang dilarang. Memang, ketulusan adalah lenyapnya pengaruh pandangan orang lain sehingga celaan dan pujian sama-sama tidak ada artinya karena adanya kesadaran bahwa yang bisa mendatangkan manfaat dan bahaya hanya Allah dan bahwa hamba-hamha-nya lemah, tak bisa berbuat apa-apa. Boleh jadi merasa terluka karena dicela merupakan hal yang terpuji. Apabila si pencela termasuk orang-orang yang terbuka matahatinya (ahlul bashirah)—sebab mereka adalah para syuhada’‘ Allah—bagaimana tidak membuatnya sedih? Menyukai pujian orang atas amal ibadah sama saja dengan meminta balasan duniawi. Sementara itu, membenci celaan atas kemaksiatan bukan hal yang tercela, kecuali kesedihannya dikarenakan kemaksiatannya diketahui orang, bukan karena diketahui Allah. Seharusnya seseorang bersedih karena kemaksiatannya diketahui Allah dan celaan Allah kepadanya lebih besar.
Kelima, seseorang tidak menyukai celaan orang kepadanya dari sudut pandang bahwa karena celaan itu menjadikan si pencela bermaksiat kepada Allah. Bukti ketulusan sikapnya ialah ia pun tidak senang apabila ada orang lain dicela.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz