Pada tindakan menyembunyikan amal ibadah terdapat keuntungan untuk bisa ikhlas dan pada tindakan menampakkannya terdapat manfaat untuk diteladani. Hasan Al-Bashri mengatakan, “Orang-orang muslim sudah tahu bahwa beramal secara sembunyi-sembunyi lebih aman (daripada terang-terangan).” Namun, menampakkan amal ibadah juga mempunyai manfaat tersendiri. Karena itulah, Allah memuji kedua cara beramal tersebut. Allah Swt berfirman, jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik bagimu (QS Al-Baqarah [2]: 271).
Menampakkan amal ada dua macam. Pertama, menampakkan amal itu sendiri. Kedua, menceritakannya. Contoh yang pertama adalah menampakkan sedekah di depan orang banyak. Diriwayatkan bahwa seorang lelaki Anshar datang membawa sekantong uang sehingga ia dikerumuni banyak orang. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam lantas bersabda, “Siapa yang mencontohkan suatu kebaikan, lalu diikuti maka ia berhak atas pahala kehaikannya dan pahala orang yang mencontohnya.”‘9 Hukum ini berlaku untuk semua amal. Dalam hal sedekah keteladanan lebih efektif. Bagi pejuang, mengencangkan pelana kudanya di depan para prajurit guna menyemangati mereka tentu lebih baik karena hal itu tidak mungkin dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Maka, inisiatif bukan termasuk menampakkan, tetapi semata-mata untuk menyemangati, seperti inisiatif untuk melaksanakan ibadah haji dan shalat Jumat.
Apabila menampakkan amal yang bisa disembunyikan, seperti sedekah, bisa menyakiti orang yang menerimanya maka yang lebih baik adalah menyembunyikannya. Sebab, menyakiti orang hukumnya haram. Apabila tidak menyakiti, sekelompok orang berpendapat, menyembunyikannya lebih baik. Sekelompok yang lain mengatakan, sembunyi lebih baik daripada terang-terangan untuk perbuatan yang tidak bisa dijadikan teladan.
Dalil yang menunjukkan dibolehkannya menampakkan amal adalah perintah Allah kepada para nabi-Nya untuk menampakkan amal mereka dan sabda Rasulullah Saw., “… maka orang itu berhak atas pahala kebaikannya dan pahala orang yang mencontohnya.” Tidak ada perbedaan pendapat, meneladani suatu amal yang dilandasi dengan keikhlasan adalah lebih baik. Akan tetapi, apabila terdapat riya, peneladanan tidak akan bermanfaat bagi orang lain maka sembunyi lebih baik.
Bagi orang yang menampakkan amalnya ada dua tugas baginya. Pertama, hendaknya ia menampakkan amalnya dengan asumsi ia akan menjadi teladan. Orang alim yang terkenal menjadi teladan bagi banyak orang, sementara orang awam apabila menampakkan amalnya mungkin akan disangka berbuat riya sehingga amalnya tidak bisa menjadi teladan bagi mereka.
Kedua, hendaknya ia mengawasi hatinya. Bisa jadi riya yang tersembunyi menuntunnya untuk menampakkan amal dengan dalih agar dijadikan teladan. Seperti itulah keadaan orang-orang yang menampakkan amalnya, kecuali orang-orang yang kuat dan ikhlas, yang jumlahnya hanya sedikit. Orang yang lemah laksana orang yang tenggelam yang hanya bisa sedikit berenang. la melihat orang-orang yang juga tenggelam, lalu ia berusaha menolong mereka. Mereka kemudian berpegangan kepadanya dan kemudian mereka semua tenggelam bersamanya. Kesengsaraan karena tenggelam di air mungkin hanya beberapa saat, sedangkan kesengsaraan karena riya mustahil hanya beberapa saat.
Untuk mengukur niat seseorang dalam menampakkan amalnya, hendaknya diperhatikan reaksi hatinya kala dikatakan kepadanya, “Sembunyikan amalmu agar manusia meneladani hamba Allah yang lain dan engkau tetap mendapatkan pahala sebesar pahala menampakkan amal.” Apabila hatinya merasa bahwa ia yang seharusnya menjadi teladan, motifnya dalam menampakkkan amal adlah riya, bukan untuk mendapatkan pahala keteladanan. Oleh karena itu, berhati-hatilah hamba Allah tehadap tipu daya nafsu.
Jenis riya yang kedua, menceritakan amal setelah selesai dikerjakan. Tindakan ini lebih berbahaya untuk kecerobohan ucapan. Apalagi dalam cerita kadang terjadi tindakan melebih-lebihkan dan membesar-besarkan. Hanya saja, apabila cerita itu dihinggapi riya, amal ibadah yang diceritakan tidak menjadi batal. Maka dari sisi ini, menceritakan amal lebih sedikit kerugiannya. Bagi orang yang bisa berlaku ikhlas serta tidak terpengaruh oleh pujian dan hinaan orang. menceritakan amal kepada orang yang ingin meneladani dan berbuat kebaikan hukumnya boleh dan bahkan bisa menjadi sunnah apabila niatnya tulus.
Saad bin Muadz mengatakan, “Semenjak memeluk Islam, setiap kali mengerjakan shalat aku tidak pernah mengucapkan hal lain di luar shalat; setiap kali mengiring jenazah aku tidak pernah membicarakan apa yang tidak pernah dikatakan oleh dan tentang jenazah itu; dan aku tidak pernah mendengar Nabi Saw, mengucapkan sesuatu, kecuali aku mengerti bahwa itu benar,”
Umar ra. mengatakan, “Aku tidak peduli apakah aku bangun pagi dalam kondisi sulit maupun mudah. Sebab, aku tidak tahu mana yang lebih baik bagiku.” Ibnu Mas’ud menyatakan, “Setiap kali pagi datang dan aku pada suatu kondisi, aku tak pernah mengharapkan kondisi selain kondisiku saat itu.” Utsman r.a. mengatakan, “Sejak membaiat Rasulullah Saw., aku tidak pernah berdusta, berpikir untuk berdusta, dan menyentuh kemaluanku dengan tangan kanan.” Syaddad bin Aus mengatakan, “Sejak memeluk Islam aku senantiasa mengendalikan dan memegang erat ucapanku, kecuali ucapan ini.” Sebelumnya Syaddad pernah berkata kepada budak lelakinya, “Ambilkan tempat makan untuk kami kirim guna mendapatkan makan siang.” Ketika Abu Sufyan mendekati ajalnya, ia berpesan kepada keluarganya. “Janganlah kalian menangisiku karena aku tak pernah berbuat dosa sejak memeluk Islam.” Umar bin Abdul Aziz—semoga Allah merahmatinya— mengatakan, “Apa pun yang telah ditakdirkan Allah untukku, aku tak pernah merasa senang untuk meminta takdir yang selain itu. Dan Apa pun keinginanku, itu semua merupakan takdir Allah.”
Jadi, menampakkan amal dengan maksud agar diteladani hukumnya boleh bagi orang-orang yang kuat—dengan syarat-syarat sebagaimana telah dijelaskan. Bahkan pada amal pelaku riya terdapat banyak kebaikan bagi manusia, meskipun pada saat yang sama merupakan keburukan bagi pelaku riya itu sendiri. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Sungguh, Allah akan menguatkan agamanya dengan orang yang suka berbuat dosa.”21 “Sungguh, Allah akan menguatkan agama ini dengan kaum-kaum yang tidak mendapatkan sedikit pun bagian (dari kemewahan dunia) untuk mereka.”22
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz