Adapun pilihan sikap yang kedua hukumnya tidak haram. la bisa wajib, sunnah, atau mubah. Allah swt berfirman. Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba, (QS Al-Muthaffifin [83]: 26). Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu (QS. Al-Hadid [57]: 21).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pun sudah menegaskan kebolehan sikap yang kedua ini. Beliau menyatakan. ”Tidak boleh ada iri, kecuali kepada dua orang, yaitu [1] Seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia menginfakkan hartanya di jalan yang benar; [2] Seseorang yang dianugerahi ilmu oleh Allah, lalu ia mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya.” 39 Kemudian beliau lebih memperjelas lagi, “Perumpamaan (keadaan) umat ini seperti empat orang berikut. [1] Ada orang yang diberi karunia harta dan ilmu oleh Allah, lalu ia menggunakan ilmunya untuk mengelola hartanya. [2] Ada orang yang dikaruniai ilmu oleh Allah, tetapi tidak diberi harta, lalu ia berdoa, ‘Ya Allah. Seandainya aku mempunyai harta seperti si fulan, tentu aku akan beramal seperti dia.’ Pahala kedua orang tersebut sama, [3] Ada orang yang diberi anugerah harta oleh Allah, tetapi tidak diberi ilmu, lalu ia membelanjakan hartanya dalam kemaksiatan kepada Allah. [4] Ada pula orang yang tidak diberi ilmu dan tidak pula harta, ialu ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta seperti si fulan, aku akan membelanjakannya seperti dia.’ Dosa kedua orang tersebut sama.” 40
Jika nikmat yang menjadi objek kompetisi merupakan suatu kewajiban agama, seperti keimanan dan shalat maka menginginkannya adalah suatu kewajiban. Jika termasuk keutamaan yang tidak wajib, menginginkannya adalah sunnah. Jika termasuk perkara mubah, menginginkannya juga mubah hukumnya.
Perasaan tidak suka menjadi orang yang tertinggal dan kalah dalam perkara yang mubah bukanlah hal yang dilarang. Namun, itu bisa mengurangi keutamaan seseorang, kezuhudannya, ketawakalannya, dan keridhaannya. Ini termasuk perkara yang rumit. Apabila seseorang sudah putus asa untuk bisa mendapatkan kenikmatan seperti yang diperoleh pesaingnya dan ia tidak suka menjadi orang yang kalah darinya, sangat mungkin jiwanya cenderung lebih suka bila nikmat itu hilang dari pesaingnya. Seandainya urusan nikmat itu diserahkan kepadanya, niscaya ia berupaya untuk menghilangkan nikmat itu dari pesaingnya. Ini termasuk iri yang tercela. Namun, jika ketakwaan menghalanginya untuk menginginkan hilangnya nikmat dari pesaingnya, itu termasuk iri yang bisa ditoleransi. Mungkin iri seperti inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi Shalallah alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam , ‘Orang mukmin tidak bisa lepas dari tiga hal. Salah satunya adalah iri. Karena itu, jika engkau merasa iri, janganlah engkau berbuat aniaya.”
———–
39 Hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 73) dan Muslim (no. 1930)
40 Hadits diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2325) dan Ibnu Majah (no. 4228). At-Tirmidzi menyatakan hadits ini hasan-shahih.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz