Ibnu Sirin mengatakan, “Aku tidak pernah iri kepada seorang pun dalam urusan dunia. Sebab, jika ia termasuk penghuni surga, mengapa aku iri kepadanya atas dunia, padahal dunia adalah barang hina di surga? Dan jika ia penghuni neraka, mengapa aku iri kepadanya atas dunia, padahal ia ada di neraka?”
Apabila Allah memberikan nikmat kepada saudaramu, engkau mempunyai dua pilihan. Pertama, engkau membenci datangnya nikmat itu dan mengharapkannya hilang. Inilah yang dinamakan iri. Kedua, engkau tidak ingin nikmat itu hilang darinya dan tidak pula membenci keberadaannya. Namun, engkau berharap bisa pula mendapatkan yang seperti itu. Ini dinamakan ghibthah atau kompetisi.
Pilihan sikap yang pertama hukumnya haram. Allah Swt. telah berfirman, “Ataukah mereka iri kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya?” (QS. Al-Nisa [4]: 54). Ummul Mukminin Shafiyah pernah berkata kepada Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam., “Suatu hari ayah dan pamanku telah datang sekembalinya dari menjumpaimu. Lantas ayahku bertanya kepada pamanku. ‘Bagaimana Muhammad menurutmu?’ Pamanku menjawab. ‘Sungguh, dialah Nabi yang diberitakan oleh Musa. Lalu engkau sendiri bagaimana pendapatmu?’ Ayahku menjawab, ‘Aku akan memusuhinya sepanjang hayat.'”
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz