Sebagaimana harta mengandung racun yang mematikan sekaligus penawar yang bermanfaat. kedudukan pun demikian. Banyak harta bisa melenakan, membuat arogan, dan membuat lupa untuk mengingat Allah dan rumah akhirat. Kedudukan pun demikian, bahkan lebih dahsyat. Memiliki banyak harta tidak dilarang, begitu pula memiliki kedudukan di banyak hati manusia. kecuali jika menyebabkan pemiliknya melakukan hal-hal yang dilarang. Namun, keinginan untuk mendapatkan kedudukan yang besar memang merupakan awal dari banyak keburukan. Orang yang mencintai kedudukan dan harta tidak akan mampu menjauhi kemaksiatan hati dan lisan dan kemaksiatan-kemaksiatan lainnya.
Adapun kedudukan yang besar, tanpa ada maksud darimu untuk mendapatkannya dan tanpa ada kesedihan saat engkau kehilangannya, tidaklah berbahaya. Tidak ada kedudukan yang lebih besar melebihi kedudukan Rasulullah Saw., Khulafaur Rasyidun, dan para ulama sesudah mereka. Namun, kecondongan hati untuk mendapatkan kedudukan merupakan suatu kekurangan dalam agama seseorang.
Memakai pakaian bagus saat keluar menemui orang merupakan tindakan pamer, tetapi itu tidak dilarang karena bukan termasuk ibadah. Adapun tindakan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang merapikan serban dan rambutnya merupakan ibadah karena beliau diperintahkan untuk mengajak manusia dan membuat mereka senang terhadap hal-hal yang baik. Karena itu, beliau harus menampakkan kepada mereka hal-hal baik yang diserukannya kepada mereka. Namun, seandainya ada orang yang sengaja menampakkan hal-hal baik seperti itu karena khawatir dicela orang atau agar dihormati, hal itu hukumnya boleh. Sebab, ia berhak menjauhkan diri dari sakitnya dicela dan mendapatkan kenyamanan dalam pergaulan. Apabila teman-temannya menganggapnya hina dan rendah, tentu ia tidak akan nyaman bergaul dengan mereka.
Dengan demikian, memamerkan hal yang bukan termasuk ibadah kadang dibolehkan, kadang termasuk ibadah, dan terkadang diharamkan. Ini disesuaikan dengan tujuan dari tindakan pamer tersebut.
Adapun memamerkan amal ibadah mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, pelaku semata-mata ingin memamerkan amal ibadahnya. Tindakan seperti ini menghapuskan pahala ibadahnya. Bahkan ia berdosa dikarenakan dua hal:
Pertama, dalam kaitannya dengan orang-orang yang kepada mereka ia memamerkan amal, tindakan pamer yang ia lakukan termasuk suatu penipuan dan kelicikan. Sebab, ia menipu mereka seolah-olah ia beramal dengan tulus karena Allah. Dan, upayanya untuk mendapatkan hati manusia dengan tipu daya merupakan perbuatan dosa.
Kedua, dalam kaitannya dengan Allah, amal ibadah yang ia lakukan bukan karena Allah tetapi karena makhluk merupakan suatu bentuk penghinaan kepada-Nya. Qatadah mengatakan, “Apabila ada hamba Allah berbuat riya, Allah berkata kepada para malaikat-Nya,’ lihatlah mereka. Bagaimana bisa mereka menghina-Ku!'”Sebagai contoh, ada orang berada di istana raja sepanjang hari dan berlaku seperti para abdi kerajaan. Namun, ia di sana hanya untuk melihat seorang dayang millk raja. Tentu saja tindakan ini merupakan penghinaan terhadap raja karena ia sama sekali tidak bermaksud untuk mendekatkan diri kepadanya.
Apakah tindakan yang dilakukan pelaku riya. sebagaimana contoh di atas, tidak lain dikarenakan ia menganggap manusia lebih kuasa untuk mewujudkan tujuannya daripada Allah dan bahwa manusia lebih mulia untuk didekati daripada Dia? Lalu penghinaan seperti apa yang melebihi tinggi hati seorang hamba kepada Majikannya? Inilah salah satu pintu kehancuran yang besar, yang oleh Baginda Rasul dinamakan syirik kecil. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim—dan dia menilainya sahih. Syaddad bin Aus mengatakan, “Kami pada masa Rasulullah menganggap riya sebagai syirik kecil.”
Sebagian bentuk riya memang lebih tinggi dosanya daripada sebagian yang lain. Cukuplah dikategorikan satu dosa bahwa dalam perbuatan riya pelakunya, seperti melakukan ruku dan sujud kepada selain Allah. Sebab, pelaku riya di dalam hatinya menganggap tinggi derajat manusia, dan itu sama artinya ia bersujud dan melakukan ruku kepadanya. Inilah syirik terselubung, bukan syirik yang nyata. Tidak ada yang melakukan syirik terselubung ini, kecuali orang yang teperdaya oleh setan dan percaya pada bisikannya, bahwa manusia bisa mendatangkan bahaya, manfaat, dan rezeki, baik untuk saat ini maupun akan datang, melebihi kemampuan Allah Swt. Oleh karena itu, ia memalingkan tujuannya kepada selain Allah.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz