Kata riya (riya’) berasal dari kata ru’yah (melihat). Pada mulanya, riya berarti menginginkan kedudukan di hati manusia dengan cara memperlihatkan suatu perbuatan baik. Hanya saja, kedudukan bisa diperoleh dengan amal ibadah dan non-ibadah. Riya sendiri terbatas pada amal ibadah. Jadi, riya adalah keinginan seorang hamba untuk mendapatkan kedudukan (di hati manusia) melalui ketaatan kepada Allah. Maka, pelaku riya adalah ahli ibadah; yang menjadi objek riya adalah manusia yang diperlihatkan amal kepadanya; sedangkan sarana perbuatan riya adalah amal kebajikan yang sengaja diperlihatkan oleh pelaku riya.
Sarana riya ada banyak macamnya, tetapi bisa dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu badan, pakaian, ucapan, perbuatan, serta pengikut dan hal-hal lain di luar itu.
Pertama, riya dengan badan. Yaitu, dengan menampakkan badan yang kurus dan pucat agar bisa memperlihatkan kurang makan, kurang tidur, banyak beribadah, dan banyak meratapi dosa. Bisa juga dengan membiarkan rambut tampak lusuh untuk menunjukkan pikiran begitu terkuras memikirkan urusan agama, kemudian nafsu mengajak untuk memperlihatkannya. Bisa juga dengan merendahkan nada bicara, membuat mata tampak sendu, dan membuat kering kedua bibir untuk menunjukkan diri senantiasa berpuasa.
Terkait perilaku riya seperti ini, Nabi Isa a.s. mengatakan, “Apabila salah seorang di antara kalian berpuasa, hendaknya ia mengoleskan minyak ke rambutnya, menyisirnya, dan mencelaki kedua matanya.” Demikian sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah.
Adapun ahli dunia berbuat riya dengan memamerkan kegemukan badannya, kemulusannya, ketegapannya, kemolekan wajahnya, kebersihannya, dan kekekarannya.
Kedua, riya dengan pakaian dan keadaan. Yaitu, dengan membiarkan rambut tampak lusuh, mencukur kumis, menundukkan kepala, berjalan pelan, memakai pakaian berbahan kasar, menaikkan celana hingga sebatas betis, dan membiarkan pakaian kotor untuk menunjukkan diri mengikuti Sunnah Nabi dan mencontoh orang-orang saleh. Bisa juga dengan memakai pakaian penuh tambalan, shalat di atas sajadah, dan mengenakan pakaian berwarna hijau agar serupa dengan orang-orang sufi, padahal batinnya sama sekali jauh dari hakikat tasawuf. Bisa juga dengan hanya memakai sarung dan serban dan memanjangkan selendang hingga di atas mata kaki agar dilihat orang bahwa ia berlaku zuhud dan menghindari debu jalanan. Bisa juga dengan mengenakan pakaian khas para ulama, padahal ia tidak berilmu, agar disangka sebagai orang yang berilmu.
Orang yang berbuat riya dengan pakaian ada beberapa tingkatan. Ada yang mencari kedudukan di mata orang-orang saleh sehingga ia mengenakan pakaian sobek lusuh, pendek, dan berbahan kasar. Seandainya ia dipaksa untuk mengenakan pakaian yang bersih. niscaya pakaian itu laksana menyembelih dirinya.
Ada pula pelaku riya yang mencari kedudukan di mata orang-orang saleh dan ahli dunia. Seandainya mengenakan pakaian mewah. ia bakal ditolak oleh orang-orang saleh. Seandainya mengenakan pakaian lusuh, ia akan dicela para penguasa dan orang-orang kaya. Oleh karena itu, ia mengenakan pakaian yang tampak seperti pakaian orang-orang sufi, tetapi harganya mahal dan mewah. Dengan cara itu, ia hendak mengambil hati kedua belah pihak. Seandainya ia disuruh untuk mengenakan pakaian berbahan kasar dan lusuh tentu ia menolak. Seandainya ia diminta untuk mengenakan pakaian dari katun yang halus dan bersih, meskipun harganya lebih rendah dari yang ia kenakan, niscaya ia merasa berat.
Adapun ahli dunia berbuat riya dengan pakaian, kendaran, rumah, dan perabot yang mahal dan indah. Mereka sangat takut jika terlihat orang lain saat mengenakan pakaian biasa di rumah.
Ketiga, riya dengan ucapan. Yaitu, dengan cara menyampaikan nasihat, ceramah, dan hikmah. Bisa juga dengan menghafalkan kisah-kisah Nabi dan para sahabat, lalu menggunakannya dalam percakapan untuk menampakkan diri berlimpah ilmu dan mempunyai perhatian terhadap kehidupan orang-orang saleh. Bisa juga dengan menampakkan gerakan bibir saat berzikir di tengah banyak orang, melakukan amar makruf nahi mungkar di depan mereka, memperlihatkan sikap ramah terhadap kemungkaran, menyesalkan perbuatan dosa yang dilakukan orang lain, merendahkan nada bicara, memerdukan suara saat membaca Al-Quran. mendaku diri hafal hadits dan pernah bertemu para syaikh, menyangga orang yang meriwayatkan suatu hadits dan langsung menilai kualitasnya dengan sahih atau tidak sahih agar dianggap mengerti hadits, berdebat dalam rangka membungkam argumentasi lawan bicara, dan lain sebagainya.
Adapun ahli dunia berbuat riya dengan memfasih-fasihkan perkataan dan menghafalkan bait-bait syair, peribahasa, dan kaidah-kaidah bahasa yang langka.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz