Kelompok keempat
Kelompok ini terjatuh pada paham serba-boleh dan menentang hukum-hukum Allah. Sebagian dari mereka mengklaim, “Allah tidak butuh amalku, untuk apa aku menyusahkan diri beribadah?” Sebagian yang lain mengatakan, “Manusia dibebani kewajiban menyucikan hati dari berbagai nafsu. Ini mustahil dilakukan. Hanya orang-orang yang belum mencoba yang bisa tertipu oleh perintah ini, sementara kami sudah pernah mencobanya.” Rupanya orang-orang dungu itu tidak mengerti bahwa manusia tidak diperintahkan untuk mencabut nafsu dan amarah dari tempatnya. Manusia hanya diperintahkan untuk membuang bahan bakarnya sehingga mereka berdua tunduk pada aturan nalar dan syariat.
Sebagian lagi mengatakan, “Amal ibadah badaniah tidak ada artinya, sementara hati kami dipenuhi dengan cinta dan makrifat kepada Allah. Dan, kami berbuat dosa di dunia hanya dengan tubuh kami.” Mereka pun meninggikan derajat mereka di atas derajat para Nabi alaihimus salam, yang senantiasa menangis atas kesalahan dan khusyu’ dalam peribadatan. Keteperdayaan kelompok sufi ini dikarenakan berbagai pemahaman mereka yang salah, bisikan-bisikan tipu daya setan yang menyeru mereka bermujahadah sebelum mendapatkan kemantapan ilmu, dan ketiadaan pembimbing yang mumpuni dalam ibadah dan ilmunya serta layak diteladani.
Kelompok kelima
Kelompok ini lebih parah lagi. Mereka menjauhi berbagai amal, mengabaikan yang halal, dan sibuk mengawasl hatinya. Salah seorang di antara mereka mendaku diri telah sampai pada maqam zuhud, tawakal, ridha, dan cinta, padahal ia belum mengerti hakikat dan tanda-tandanya. la pun mendaku dirinya dipenuhi perasaan cinta yang mendalam kepada Allah, padahal yang ada dihatinya adalah khayalan-khayalan bid’ah dan kufur. la mengaku cinta, padahal belum mengenal. la pun tidak lepas dari perbuatan-perbuatan yang dibenci Allah dan lebih mengutamakan menuruti hawa nafsu daripada perintah-Nya. la meninggalkan berbagai hal karena malu terhadap makhluk-Nya (bukan karena Allah). Padahal seandainya sedang sendiri. ia pasti sudah melakukannya. Semua itu bertentangan dengan makna cinta. Sebagian di antara mereka mengarungi gurun pasir tanpa membawa bekal untuk membuktikan klaim tawakalnya. Padahal tidak tertutup kemungkinan bahwa ia bertawakal karena suatu motif tertentu.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz