Kelompok kesepuluh
Mereka menghabiskan waktu mereka untuk mempelajari ilmu hadits, dengan menyimak hadits dari orang Iain, mengumpulkan riwayat-riwayat, dan mencari sanad-sanad yang tinggi dan langka. Di antara mereka ada yang berkeliling berbagai negeri agar bisa dengan bangga mengatakan, “Aku telah meriwayatkan hadits dari si fulan. Aku telah berjumpa dengan si fulan. Aku punya sanad yang tidak dipunyai orang lain.”
Mereka ini laksana para pembawa kitab-kitab yang tebal. Mereka tidak menaruh perhatian untuk memahami makna-makna hadits sehingga mereka pun tidak mengamalkan isinya. Kadang-kadang sebagian di antara mereka ada yang memahami sebagian dari yang mereka riwayatkan, tetapi mereka tidak mengamalkannya. Mereka pun meninggalkan perkara yang hukumnya wajib ain, yaitu mengetahui obat hati.
Mereka tidak pula menetapkan syarat-syarat dalam menyimak hadits, padahal penyimakan sangat penting untuk memastikan kebenaran suatu hadits. Pemahaman diperlukan setelah penetapan kesahihan suatu hadits. Lalu pengamalan harus dilakukan setelah penetapan kesahihan. Maka, yang pertama adalah menyimak atau mendengarkan, lalu memahami, lalu menghafalkan, lalu mengamalkan, baru kemudian menyebarkan. Akan tetapi, mereka membatasi diri hanya menyimak, dan mereka pun meninggalkan hakikat ilmu hadits. Maka Anda bisa melihat, ada anak-anak menghadiri majelis hadits seorang syaikh. Saat hadits dibacakan, sang syaikh tidur, dan si anak bermain-main. Kemudian nama si anak ditulis telah menyimak hadits tersebut. Jika sudah besar, anak tersebut tentunya akan diminta meriwayatkan hadits kepada orang lain. Sementara itu, orang dewasa yang hadir dalam majelis itu bisa saja lupa, tidak mendengar, tidak memperhatikan, tidak kuat ingatannya, atau sedang menyalin suatu hadits yang lain. Syaikh pun tidak akan tahu seandainya hadits yang dibacakan itu diubah dan diganti. Semua itu adalah kebodohan dan keteperdayaan. Pada dasarnya, hadits hendaknya didengar dari Rasulullah, lalu dihafal sesuai dengan apa yang telah didengar, lalu diceritakan kepada orang lain sesuai dengan hafalan tersebut. jika engkau tidak bisa mendengarnya langsung dari Rasulullah, engkau bisa mendengarnya dari para sahabat atau tabiin. Agar engkau seakan-akan mendengarnya dari Rasulullah sendiri, engkau harus mendengarkannya dengan penuh perhatian, menghafalnya sama persis seperti apa yang engkau dengar, lalu menceritakannya kepada orang lain persis seperti yang telah engkau hafal. Engkau tidak boleh mengubahnya, walaupun hanya satu huruf. Dengan begitu, jika ada orang lain yang mengubahnya atau salah dalam meriwayatkannya, engkau bisa mengetahuinya.
Untuk menghafal hadits, ada dua cara:
Pertama, engkau menghafalnya di hati dan terus-menerus mengingat dan mengulang-ulang bacaannya.
Kedua, engkau bisa menuliskannya seperti yang telah engkau dengar, lalu memeriksa tulisan itu (kepada orang yang meriwayatkan hadits kepadamu), lalu menjaganya dari tangan-tangan yang bisa mengubah tulisan itu.
Jika mereka menyimak hadits dengan syarat dan ketentuan tertentu, niscaya mereka semua termasuk orang-orang yang teperdaya, karena mereka hanya mendengarkan hadits dan menghabiskan usia mereka hanya untuk mengumpulkan riwayat tanpa memahami makna dari apa yang mereka dengar dan riwayatkan. Padahal maksud dari periwayatan hadits adalah untuk menempuh jalan menuju akhirat seraya berpaling dari perkara agama yang penting. Bagi orang yang menempuh jalan tersebut, mungkin sebuah hadits sudah cukup baginya. Diriwayatkan dari beberapa syekh, bahwa ia datang menghadiri suatu majelis hadits.
Hadits pertama yang didengarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang menyatakan, “Salah satu tanda kebenaran Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak berarti baginya.” Orang itu lalu berdiri dan berkata, “Ini sudah cukup bagiku. Setelah selesai mengamalkan hadits yang satu ini, baru kemudian aku akan mendengar hadits yang lain.” Beginilah orang-orang yang cerdas dalam mendengarkan hadits.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz