Kelompok ketujuh
Mereka sibuk menyampaikan nasihat dan peringatan. Yang paling tinggi derajatnya adalah mereka yang berbicara tentang budi pekerti dan sifat-sifat hati, seperti takut kepada Allah, berharap kepada-Nya, bersabar, bersyukur, berserah, zuhud, yakin, ikhlas, tawakal, dan jujur. Mereka mengira bahwa dengan berbicara dan mengajak orang-orang pada akhlak-akhlak tersebut, berarti mereka telah bersifat seperti itu. Padahal sama sekali tidak. Hanya sedikit saja dari sifat-sifat itu yang menempel pada diri mereka, sebagaimana yang menempel pada diri orang-orang awam.
Keteperdayaan mereka lebih berbahaya karena mereka sangat takjub pada diri sendiri. Mereka menyangka bahwa orang yang menguasai ilmu cinta kepada Allah pasti mencintai Allah; bahwa orang yang bisa menjelaskan seluk—beluk keikhlasan niscaya telah berlaku ikhlas; bahwa orang yang mengerti aib-aib diri yang sangat tersembunyi pasti sudah bersih dari aib-aib itu. Orang malang karena prasangkanya ini mengira dirinya termasuk orang-orang yang takut kepada Allah, padahal sebenarnya ia tidak takut; mengira termasuk orang-orang yang patut mengharap rahmat Allah, padahal sejatinya ia teperdaya dan menyia-nyiakan hak-hak Allah; mengira termasuk orang-orang yang rela atas takdir Allah, padahal sebenarnya ia tidak rela; mengira termasuk orang yang berserah diri kepada-Nya, padahal sesungguhnya ia bergantung pada kedudukan dan harta; mengira termasuk orang-orang yang ikhlas, padahal sejatinya ia orang yang suka berlaku riya. la menjelaskan makna ikhlas, tetapi ia sendiri tidak mengamalkannya; menguraikan makna riya, tetapi ia sendiri berlaku riya saat menguraikan—ia menguraikan dengan tujuan agar orang lain mempercayainya sebagai orang ikhlas; menjelaskan makna zuhud terhadap dunia, tetapi ia sendiri sangat tamak dan rakus padanya; ia menyeru manusia untuk berpaling dari pujian manusia, tetapi ia sendiri sangat mengharapkannya; ia mendaku tujuannya adalah memperbaiki akhlak manusia, namun bila ada orang alim lain mendapat sambutan hangat dari masyarakat dan masyarakat menjadi baik melalui orang itu, ia justru “mati” karena sedih dan iri hati.
Mereka itu termasuk orang-orang yang sangat sulit diharapkan sadarnya. Sebab, orang yang menyeru kepada akhlak-akhlak yang terpuji dan mengajak orang untuk meninggalkan akhlak-akhlak yang tercela tentu sudah tahu akan keburukan dan kebaikan dari akhlak-akhlak itu. la sudah tahu semua itu, tetapi pengetahuannya tidak bermanfaat baginya. Lalu dengan apa ia bisa diobati? Apa pula yang bisa membuatnya takut kepada Allah? Yang bisa membuatnya takut telah ia bacakan kepada hamba-hamba Allah, lalu mereka menjadi takut kepada-Nya, tetapi ia sendiri tidak takut. jika ia mendaku diri berakhlak baik, mungkin ia bisa disadarkan dengan cara menguji dan mencobanya. Misalnya, ia mendaku diri mencintai Allah maka apa yang bisa ia tinggalkan dari kecintaannya kepada diri sendiri demi cintanya kepada-Nya? jika ia mendaku diri takut kepada-Nya, apa yang bisa ia tinggalkan karena takut kepada-Nya? Jika ia mendaku diri berlaku zuhud, apa yang bisa ia tinggalkan karena Allah padahal ia bisa menggapainya? Jika ia mendaku diri tenteram bersama Allah, kapan ia bisa menikmati kesendirian dengan-Nya? Atau jangan-jangan hatinya penuh dengan ketenteraman saat murid-murid mengelilinginya dan sebaliknya menjadi tidak tenang saat sendiri bersama Allah?
Orang-orang yang cerdas menguji dan menuntut diri mereka dengan hakikat, tidak puas dengan segala hal yang bersifat lahir. Adapun orang-orang yang teperdaya berbaik sangka terhadap diri mereka sehingga apabila kedok mereka dibuka di akhirat nanti, tampaklah segala keburukan mereka. Keteperdayaan mereka tidak lain karena mereka menemukan di dalam hati mereka sesuatu yang sangat sedikit dari makna cinta kepada Allah, takut kepada-Nya, dan ridha terhadap takdir-Nya. Kemudian mereka mampu menggambarkan makna-makna tersebut. Mereka lantas menyangka bahwa kemampuan mereka dalam menggambarkan, mengajarkan, dan membuat orang mengikuti ajarannya tidak lain dikarenakan mereka telah melaksanakan sifat-sifat itu.
Perumpamaan mereka adalah seperti orang sakit yang bisa mendiagnosis penyakitnya, menulis resepnya dengan baik, serta menjelaskan keadaan sakit dan sembuh. Meskipun orang sakit yang lain tidak bisa seperti dia, tetapi ia dan mereka sama-sama sedang terserang penyakit. Bedanya, ia bisa menjelaskan, sedangkan yang lain tidak. Dengan pengetahuannya tersebut, ia menyangka dirinya telah sembuh. Sungguh ini adalah suatu kedunguan. Begitu pula, pengetahuan mengenai takut kepada Allah, cinta kepada-Nya, tawakal, zuhud, dan sifat-sifat lainnya tidak berarti orang yang mempunyai pengetahuan itu sudah berlaku seperti hakikat dari sifat-sifat tersebut
Jadi, seperti itulah kondisi para mubalig yang tidak ada aib sama sekali pada ucapan mereka, yang berceramah dengan metode Al-Quran, metode Nabi, maupun metode Hasan Al-Bashri, dan ulama-ulama lainnya. Mereka bisa saja teperdaya.