Kelompok keenam
Mereka sibuk mempelajari ilmu kalam dan cara berdebat, membantah pendapat orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka, dan meyakini bahwa iman seseorang tidak sah sebelum
mempelajari perdebatan mereka dan apa yang mereka namakan dengan dalil-dalil. Mereka pun meyakini bahwa hanya mereka yang lebih tahu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya.
Mereka yang termasuk kelompok ini ada yang sesat karena mengajak pada selain sunnah dan ada yang benar karena mengajak pada sunnah. Keteperdayaan kelompok yang sesat dikarenakan mereka lalai dan menyangka diri termasuk kelompok yang selamat. Mereka adalah kelompok-kelompok yang suka mengafirkan satu sama lain di antara mereka. Mereka dianugerahi kemampuan, mereka tidak mewaspadai pendapat-pendapat mereka serta tidak menguasai syarat-syarat dalil dan konsep-konsep kesimpulan hukum, sehingga ada sebagian di antara mereka menganggap syubhat sebagai dalil dan dalil sebagai syubhat.
Adapun keteperdayaan kelompok yang benar dikarenakan mereka mengira bahwa perdebatan adalah pcrsoalan yang paling penting dan ibadah yang paling utama, dan bahwa keimanan orang yang beriman tanpa mempelajari dalil-dalil keimanaan secara terperinci adalah belum sempurna. Mereka menghabiskan usia mereka untuk mempelajari perselisihan pendapat dan kerancuan-kerancuan para pelaku bid’ah, tetapi mereka mengabaikan diri dan hati mereka hingga menjadi “buta”. Salah seorang dari mereka mengira bahwa kesibukannya dalam perdebatan lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Sementara itu, karena menikmati kemenangan dalam perdebatan memenangkan argumen lawan, kepemimpinan, dan kemuliaan karena membela agama, mata batin mereka menjadi buta sehingga tidak bisa meneladani orang-orang dari generasi pertama. Padahal Rasulullah telah bersaksi bahwa generasi pertama itulah generasi yang terbaik. Generasi pertama pun menyaksikan adanya para pelaku bid’ah dan penurut hawa nafsu, tetapi mereka tidak menghabiskan usia mereka untuk berdebat dengan mereka. Daripada mengurusi mereka yang tersesat itu. mereka lebih mengutamakan mengawasi hati dan perilaku mereka. Dalam menjelaskan kesesatan orang yang sesat, mereka hanya berbicara sesuai keperluan dan jika mereka menilai ada manfaat dari pembicaraan tersebut. Jika orang yang sesat berpegang teguh pada kesesatannya, mereka meninggalkannya dan tidak memperpanjang perdebatan dengannya. Yang termasuk Sunnah Nabi adalah meninggalkan perdebatan ketika menyeru orang kembali kepada Sunnah. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah bersabda, “Suatu kaum tidak akan tersesat setelah mendapatkan petunjuk, kecuali jika didatangkan perdebatan kepada mereka.”13
Pada suatu hari Rasulullah mendapatkan para sahabatnya sedang berdebat. Lantas beliau marah besar sehingga mukanya merah seperti buah delima yang telah dibersihkan bijinya. Beliau lantas bersabda. “Apakah untuk ini kalian diutus? Apakah ini yang diperintahkan kepada kalian, menjadikan kitab Allah sebagai bahan perdebatan? Perhatikan apa yang diperintahkan kepada kalian, lalu kerjakanlah. Perhatikan apa yang dilarang bagi kalian, lalu berhentilah mengerjakannya.
Para sahabat pun mengetahui bahwa Rasulullah diutus kepada semua pemeluk agama, tetapi beliau tidak pernah duduk berdebat dengan mereka. Rasulullah tidak pernah mendebat mereka, kecuali sebatas membacakan ayat Al-Quran kepada mereka. Perdebatan yang lebih dari itu hanya akan mengacaukan hati dan melahirkan berbagai persoalan. Rasulullah bukannya tidak sanggup untuk mendebat mereka dengan Iogika-logika yang terperinci, beliau juga bukan tidak mampu untuk mengajarkan para sahabat cara tersebut yang baik.
Orang-orang yang cerdas dan berhati-hati mengatakan, “Seandainya orang di seluruh dunia selamat, sedangkan kita celaka, keselamatan mereka semua tidak bermanfaat sama sekali bagi kita. Seandainya kita selamat, sementara mereka semua celaka. kecelakaan mereka sama sekali tidak membahayakan kita. Kewajiban kita tidak lebih dari meneladani para sahabat saat bergaul dengan para penganut Yahudi, Nasrani, dan agama-agama lain. Kita pun bisa melihat bahwa para pelaku bid’ah tidak akan meninggalkan perbuatan bid’ah mereka hanya karena kita mendebat mereka. Sebaliknya, mendebat mereka hanya akan membuat mereka semakin fanatik dan militan dalam perbuatan bid’ah mereka. Maka, menyibukkan diri untuk mendebat diri sendiri agar mau meninggalkan dunia demi akhirat adalah hal yang lebih penting. Kita telah dilarang berdebat, lalu bagaimana mungkin kita menyeru orang untuk berpegang kepada Sunnah, sementara kita sendiri meninggalkannya!?”
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz