Kelompok kelima
Mereka yang merasa cukup dengan mempelajari ilmu-ilmu yang tidak penting dan meninggalkan ilmu-ilmu yang penting. Mereka membatasi diri dengan ilmu yang berkaitan dengan fatwa yang menyangkut pemerintahan, perselisihan, dan transaksi di antara sesama manusia. Mereka pun mengkhususkan istilah ilmu fikih hanya pada ilmu yang mereka geluti tersebut. Karena itu, bisa jadi mereka menyia-nyiakan amalan-amalan yang bersifat lahir maupun batin, tidak mengawasi segenap anggota tubuh mereka, mereka menjaga lidah dari menggunjing dan perut dari makanan haram, tetapi tidak memelihara hati dari kesombongan, iri hati, riya, dan berbagai penyakit yang mencelakakan lainnya. Dengan demikian, mereka teperdaya dengan amal dan ilmu mereka.
Perumpamaan keteperdayaan mereka dalam amal seperti orang yang mengidap penyakit wasir dan radang selaput dada. Ia sudah hampir mati, tetapi justru sibuk mempelajari cara pengobatan darah istihadah. la mengulang-ngulang pelajaran itu walaupun ia tahu bahwa seorang lelaki tidak akan mengalami haid maupun istihadah. Ia berdalih, “Barangkali ada perempuan yang mengalami istihadah, lalu ia bisa bertanya kepadaku.”
Seorang faqih pun demikian. Kadang-kadang ia dikuasai oleh cinta dunia, mengikuti nafsu, dan melakukan amalan-amalan hati yang mencelakakan. Akan tetapi, ia mengabaikan penyakit-penyakitnya itu dan malah menyibukkan diri mempelajari jual beli titipan, persewaan, zhihar, kriminalitas, denda, penuntutan, pembuktian karena pada pelajaran-pelajaran itu terdapat kedudukan dan kekuasaan. ia mengira dirinya sibuk menjalankan kewajiban agama, padahal menyibukkan diri pada wajib kifayah sebelum menyelesaikan wajib ain termasuk kemaksiatan. Dikatakan menyibukkan diri pada wajib kifayah jika niatnya dalam belajar memang benar. Maka, jika maut menjemput sebelum ia bertobat, ia akan bertemu Allah dalam keadaan murka kepadanya. Orang alim dari kelompok ini dinyatakan teperdaya oleh ilmunya karena ia membatasi diri hanya mempelajari ilmu terkait dengan persoalan fatwa, sembari mengira bahwa hanya ilmu itu sebagai ilmu agama, meninggalkan pelajaran mengenai Al-Quran dan Sunnah Rasulullah—bahkan barang kali ia pun mencela para ahli hadits seraya mengatakan, “Para perawi hadits dan pembawa kitab-kitab yang tebal tidak paham (apa yang mereka riwayatkan dan bawa),”—mengabaikan ilmu tentang perbaikan budi pekerti, dan tidak mempelajari ilmu tentang Allah, yang bisa menunjukkan kepadanya akan kebesaran dan keagungan Allah, menghadirkan rasa takut dan khusyu kepada-Nya, dan membuatnya menjadi bertakwa. Engkau bisa melihat orang alim ini merasa aman (dari siksa Allah), teperdaya (oleh ilmunya), dan bergantung pada amalnya, yakni ia beranggapan bahwa seandainya ia tidak memberikan fatwa, perkara halal-haram tentu diabaikan oleh masyarakat. Penyebab keteperdayaan orang ini adalah keutamaan ilmu fiqih yang pernah ia dengar, sementara ia tidak mengerti bahwa yang dimaksud dengan ilmu fiqih adalah pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya. Allah Swt. berfirman, Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya (QS Al-Taubah [9]: 122).
Di antara mereka terdapat orang yang membatasi diri hanya mempelajari perbedaan-perbedaan pendapat serta cara berdebat, memenangkan argumentasi, dan membungkam lawan bicara. Sepanjang siang dan malam ia meneliti pertentangan-pertentangan para imam mazhab, mencari kelemahan orang-orang alim lainnya, dan mempelajari berbagai hal yang bisa “mencederai” calon lawan debatnya. Orang seperti ini adalah manusia buas. la berkarakter suka menyakiti dan mengingkari kebenaran. la pun mencela setiap ilmu yang tidak ia perlukan dalam perdebatan, seperti ilmu tentang hati, meremehkannya, dan menyebutnya sebagai ilmu hiasan belaka. Ilmu yang penting baginya hanyalah pengetahuan tentang kekurangan orang-orang yang terlibat dalam perdebatan. Orang semacam ini lebih bahaya daripada orang yang hanya sibuk mempelajari ilmu tentang fatwa, karena ia juga mempelajari ilmu yang bukan termasuk wajib kifayah, yaitu detail perdebatan. Mempelajari detail perdebatan termasuk bid’ah. Para ulama salaf tidak mengenai pelajaran semacam ini. Dengan demikian, keteperdayaan orang semacam ini lebih bahaya dan lebih buruk daripada keterpedayaan kelompok sebelumnya.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz