Kelompok keempat
Mereka menguasai ilmu, membersihkan segenap anggota tubuh dari keburukan, menjauhi kemaksiatan yang bersifat lahir, mengawasi hati dari akhlak-akhlak tercela, berjuang untuk membebaskan diri dari akhlak-akhlak itu, dan menanggalkan akhlak-akhlak buruk yang tumbuh di hati. Namun, masih tersisa di sudut-sudut hati mereka beberapa tipu daya yang sangat samar, lembut, dan tersembunyi, yang berasal dari tipu daya setan dan hawa nafsu.
Perumpamaan mereka seperti orang yang ingin membersihkan tanaman dari gulma. Orang itu lalu berkeliling mencabuti setiap gulma yang dilihatnya, tetapi tidak memeriksa gulma yang belum keluar tunasnya. Padahal, dari akar gulma tumbuh beberapa cabang lembut yang menyebar di bawah tanah. la mengabaikan gulma-gulma di bawah tanah itu, lalu gulma-gulma itu tumbuh dan merusak akar tanaman. Orang alim pun demikian. Kadang-kadang ia sudah melakukan semua kebaikan yang telah disebutkan, tetapi mengabaikan pengawasan terhadap hal-hal yang samar dan tersembunyi. Engkau melihatnya menghabiskan siang dan malam untuk mengumpulkan ilmu dan menulis. Bisa jadi motifnya adalah agar menjadi terkenal, mempunyai reputasi dan banyak murid, diikuti banyak orang, dan mempunyai kelebihan atas orang-orang alim yang lain.
Bisa jadi pula bahwa kehidupan spiritualnya dipengaruhi oleh kepemimpinan yang diraihnya serta kepatuhan dan pujian orang kepadanya. Maka, seandainya orang-orang sudah tidak menyenanginya lagi, tidak menganggapnya sebagai orang zuhud dan sebagainya, mungkin hatinya menjadi goncang, wirid-wiridnya tidak lagi teratur, dan ia akan mencari pembenaran atas kondisi tersebut. Bahkan boleh jadi ia akan melakukan kebohongan-kebohongan untuk menutupi keburukannya dan menganggap mulia orang-orang yang menganggapnya zuhud dan wara’, walaupun anggapan itu berlebihan dan tidak sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya. Hatinya pun menjadi tidak tenang jika ada orang yang mengetahui tingkat kehebatannya, walaupun yang dikatakan orang tersebut sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya.
Boleh jadi ia mengutamakan sebagian sahabatnya atas sebagian yang lain, seraya mendaku pengutamaan tersebut didasarkan pada sikap wara’ dan zuhud mereka. Padahal, itu disebabkan mereka lebih patuh, lebih menurut pada kehendaknya, dan lebih sering memujinya. Barangkali orang-orang menimba ilmu kepadanya, namun ia mengira itu dikarenakan keikhlasan dan kejujurannya. Maka, seandainya ia diberi pahala lebih besar daripada pahala mengajar, yaitu dengan merendahkan diri, mengasingkan diri, dan menyembunyikan ilmunya, ia tidak akan melakukannya karena ia tidak akan memperoleh nikmatnya disukai banyak orang dan kemuliaan menjadi pimpinan.
Barangkali ia bersungguh-sungguh dan mengarang buku, tetapi tujuannya hanya untuk melambungkan namanya sebagai pengarang hebat. Maka, seandainya ada orang lain mengklaim hasil karangannya dan mengganti namanya dengan nama orang lain, ia menjadi gundah. Padahal, pahala hanya ditujukan kepada pengarang yang sebenarnya, dan Allah tahu bahwa dialah pengarang yang sebenarnya.
Boleh jadi ia juga tidak luput dari memuji diri sendiri dalam karangannya, baik secara tersurat maupun hanya tersirat. Misalnya, ia mengutip kata-kata yang buruk untuk mempertegas keburukannya lalu menegaskan siapa pemilik kata-kata itu. Tetapi saat mengutip kata-kata yang baik, ia tidak menyebutkan siapa pemiliknya, dengan harapan pembaca akan menyangka itu sebagai ungkapan dia sendiri. Maka saat mengutip kata-kata itu secara utuh, ia laksana pencuri. Atau jika ia mengutip dengan mengubah redaksinya sedikit, ia bagaikan orang yang mencuri baju lalu mengubahnya menjadi pakaian jenis lain agar tidak tampak sebagai barang curian.
Boleh jadi seandainya orang-orang alim yang teperdaya ini berkumpul bersama, setiap orang dari mereka mengira dirinya sendiri selamat dari berbagai penyakit hati. Namun, jika mereka sudah berpisah, lalu sekelompok orang awam menjadi pengikut masing-masing dari mereka, maka orang-orang alim ini akan bangga melihat banyaknya jumlah pengikut mereka masing-masing. Ia pun senang bila pengikutnya lebih besar, walaupun ia tahu bahwa orang alim yang lain lebih pantas mendapat lebih banyak pengikut.
Kemudian jika mereka sedang sibuk memberikan pelajaran dan nasihat, mereka saling berselisih dan iri hati. Boleh jadi salah seorang dari mereka ada yang berbeda pendapat dengannya lalu bergabung dengan orang alim yang lain, hatinya menjadi tidak senang dan enggan terhadapnya. la pun tidak lagi bersemangat untuk memuliakannya dan membantu keperluannya sebagaimana sebelumnya.
Barangkali bila perasaan iri mulai menyeruak kepada dirinya, ia tidak kuasa untuk menampakkannya secara langsung. Maka, ia pun mencari alasan untuk menampilkan iri dan kemarahannya dalam bingkai agama. Seorang alim yang teperdaya bisa jadi lebih senang jika aibnya disebut-sebut dan ia tidak suka jika dipuji-puji. Atau barangkali ia hanya akan menampakkan muka masam saat aibnya disebut-sebut guna menunjukkan bahwa ia tidak suka membuka aib sesama orang Islam dan bahwa hatinya ikhlas digunjingkan orang. Namun, Allah Maha Mengetahui apa yang sebenarnya ada di hatinya.
Semua penyakit hati yang terselubung seperti tersebut di atas hanya bisa diketahui oleh orang-orang cerdas, dan hanya orang-orang kuat yang mampu membersihkan diri darinya. Namun, setiap orang setidaknya harus bisa mengetahui aib dirinya, lalu aib-aib itu membuatnya sedih dan memperbaiki diri. Apabila Allah hendak menjadikan seorang hambanya menjadi baik, Dia membukakan kepadanya aib dirinya. Siapa yang merasa senang atas amal baiknya dan merasa getir atas amal buruknya, itulah kondisi yang memberi harapan, kondisi yang lebih baik daripada orang teperdaya yang menyucikan dirinya. Kita berlindung kepada Allah dari kelalaian dan keteperdayaan. Hanya kepada Allah kita memohon petunjuk.
Berikut ini akan saya sebutkan keteperdayaan orang-orang yang merasa puas dengan ilmu yang tidak penting, seraya mengabaikan ilmu yang penting.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz