Kelompok kesepuluh
Orang dari kelompok ini senang mengerjakan shalat Dhuha, Tahajud, dan shalat-shalat sunnah lainnya. Namun, ia tidak bisa merasakan kenikmatan saat menjalankan shalat wajib dan ia pun tidak bersegera dalam menjalankannya. la lupa pada apa yang diriwayatkan Rasulullah dari Allah Swt., “Apa pun sarana pendekatan hamba kepada-Ku, tidak ada yang bisa menyamai pendekatan mereka dengan mengerjakan apa yang Kuwajibkan kepada mereka.”
Kemaksiatan sudah jelas, ketaatan juga sudah jelas. Yang rumit adalah mendahulukan sebagian ketaatan atas sebagian yang lain, seperti mendahulukan yang wajib atas yang sunnah, wajib ain atas wajib kifayah, wajib kifayah yang belum dikerjakan siapa-siapa atas wajib kifayah yang sudah dikerjakan orang lain, wajib ain yang lebih penting atas wajib ain yang tingkatannya di bawahnya, kewajiban yang sudah terlewat atas kewajiban yang belum terlewat, kebutuhan ibu atas kebutuhan ayah, dan Iain-Iain. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah ditanya, “Siapa yang harus kuperlakukan dengan baik, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Lalu Siapa lagi?” Rasulullah mengatakan, “Ibumu.” “Kemudian Siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa lagi?” Rasulullah menjawab, “Ayahmu.” “Kemudian siapa lagi?” Rasulullah mengatakan. “Yang di bawahnya, lalu yang di bawahnya lagi.” Dengan demikian, berbuat baik seharusnya dimulai dengan yang paling dekat, jika sama-sama dekat, piih yang lebih membutuhkan, jika sama-sama membutuhkan, pilih yang lebih bertakwa dan wara’. Siapa yang tidak mempunyai cukup harta untuk menafkahi kedua orangtua dan sekaligus berangkat haji, tetapi ia memilih berangkat haji maka ia termasuk orang yang teperdaya. Seharusnya ia mendahulukan hak kedua orang tuanya. Inilah yang dinamakan mendahulukan kewajiban yang lebih penting atas kewajiban yang di bawahnya.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz