Siapa yang terlena oleh cinta-kedudukan, ia hanya akan mencari perhatian orang lain, pura-pura mencintai mereka, dan memperhatikan orang yang bisa meningkatkan kedudukannya di mata mereka. Inilah bibit kemunafikan dan pangkal kerusakan. Orang seperti ini akan mudah meremehkan ibadah dan melakukan hal-hal yang dilarang. Karena itu, kecintaan pada kedudukan dan harta benda disamakan dengan dua serigala perusak. Kecintaan pada keduanya bisa menumbuhkan kemunafikan sebagaiman air menumbuhkan biji-bijian. Karena kemunafikan adalah berbedanya lahir dan batin, orang yang menginginkan kedudukan niscaya akan menimbulkan kemunafikan dan menampakkan sesuatu yang tidak ada pada dirinya.
Mencintai kedudukan termasuk perkara merusak yang harus dihilangkan dan disembuhkan. Cara penyembuhannya melalui pengetahuan dan amal perbuatan.
Dari sisi pengetahuan, seseorang hendaknya mengetahui faktor yang membuatnya mencintai kedudukan, yaitu keinginan berkuasa atas manusia dan hati mereka. Kami telah jelaskan di depan bahwa sekiranya kekuasaan itu bisa ia raih maka itu akan berakhir saat kematiannya tiba. Bahkan seandainya semua makhluk di muka bumi bersujud kepadanya, ia dan orang yang bersujud kepadanya hanya akan hertahan hidup sekira 50 tahun saja. Keadaannya tidak berbeda dengan orang yang telah meninggal sebelumnya. Karena itu, tidak sebaiknya urusan agama yang merupakan kehidupan abadi diabaikan demi kekuasaan yang bersifat sementara.
Siapa yang mempunyai pemahaman yang baik tentang kesempurnaan yang hakiki dan palsu, kedudukan duniawi menjadi kecil di matanya. Orang yang bisa melihat akhirat dengan mata batinnya, niscaya juga mcmandang rendah kedudukan duniawi. Contohlah Hasan Al-Bashri. Ia pernah menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz sebagai berikut, “Seakan-akan engkau ditakdirkan meninggal paling akhir, tetapi engkau sudah mati” Teladani pula Umar bin Abdul Aziz, saat itu menjawab surat Hasan Al-Bashri, “Seakan-akan engkau di dunia tidak ada; seakan-akan engkau di akhirat senantiasa ada.” Lihatlah, mereka saling memahami pentingnya hari akhirat sehingga menganggap rendah kedudukan dan harta benda.
Mata batin kebanyakan manusia lemah. Cahaya mata mereka tidak mampu menjangkau masa depan di akhirat, hanya sampai di dunia. Allah Swt. berfirman, Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal (QSM-A’\a [87]: 16-17). Allah pun berfirman, Tidak! Bahkan kamu mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan) akhirat (QS Al-Qiyamah [75]: 20-21). Karena itu, hendaknya manusia mengobati hatinya dengan pengetahuan mengenai penyakit-penyakit duniawi. Ia hendaknya memikirkan bencana yang akan menimpa para pencinta kedudukan duniawi, misalnya didengki, menjadi sasaran kebencian, dan menjalani hidup dalam ketakutan. Hati lebih mudah terombang-ambing dari pada kendil di atas tungku. Sementara itu, keharusan untuk terus memantau hati orang banyak dan menangkal tipu daya para pendengki merupakan bencana duniawi yang mengurangi nikmatnya kedudukan.
Adapun dari sisi amaliah, cinta-kedudukan bisa disembuhkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa merendahkan martabat sendiri di mata manusia. Dengan begitu ia bisa melepaskan nikmatnya dihormati orang dan menikmati menjadi orang biasa. Inilah mazhab Mulamatiyah. Apabila seseorang termasuk panutan orang banyak, ia tidak boleh melakukan perbuatan yang merendahkan diri tersebut. Dan apabila ia bukan panutan, perbuatan yang merendahkan diri tersebut tidak boleh berupa perbuatan yang diharamkan, tetapi harus yang masih berkategori mubah.
Diriwayatkan bahwa ada seorang raja hendak mengunjungi orang zuhud. Ketika sang raja sudah mendekat, orang zuhud tersebut meminta makanan, lalu memakannya dengan rakus. Ketika sang raja melihat kerakusan orang zuhud tersebut, jatuhlah martabat orang zuhud di mata sang raja dan sang raja lantas pergi meninggalkannya. Lalu berkatalah orang zuhud itu, “Segala puji bagi Allah, yang telah memalingkanmu dariku.”
Amaliah paling manjur untuk membunuh penyakit cinta-kedudukan ialah mengasingkan diri atau berhijrah ke suatu tempat yang membuatnya tidak terkenal. Orang yang mengasingkan diri ke suatu tempat, tetapi di tempat itu ia dikenal sebagai orang yang tidak menyukai kedudukan, tidak akan lepas dari penyakit cinta-kedudukan yang justru dihasilkan dari pengasingan itu sendiri. Bisa jadi ia merasa tidak menyukai kedudukan, tetapi ia teperdaya karena hatinya sebenarnya merasa nyaman dengan kedudukannya sebagai orang yang dikenal tidak menyukai kedudukan. Seandainya ada orang yang mencelanya, niscaya ia merasa tersakiti hatinya, bahkan ia akan mencari alasan untuk membela diri dari celaan tersebut, walaupun kadang dengan melakukan kebohongan dan penipuan.
Orang yang benar-benar memutuskan diri dari penilaian manusia, niscaya tak akan peduli dengan kedudukannya di mata mereka. Siapa yang berlaku qanaah, niscaya ia berjiwa kaya. Jika ia berjiwa kaya, tidak membutuhkan penilaian manusia, niscaya ia tidak akan sibuk memikirkan penilaian manusia. Maka hendaklah manusia mengambil pelajaran dari hadits-hadits dan khabar-khabar yang mencela kedudukan dan memuji ketidakterkenalan, dan dari kisah-kisah orang salaf dan kecintaan mereka pada pahala akhirat. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz