Dengan demikian, berbuat baik melebihi apa yang diwajibkan oleh tata krama adalah kedermawanan. Syaratnya, perbuatan itu harus disertai dengan hati yang tulus, bukan karena mengharapkan pelayanan, imbal balik, pujian, maupun ucapan terima kasih. Orang yang mengharapkan ucapan terima kasih dan pujian adalah pedagang, bukan seorang dermawan. Sebab, kedermawanan adalah memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan. Pengertian kedermawanan seperti ini secara hakiki hanya disandang oleh Allah. Bagi manusia, pengertian kedermawanan seperti di atas bersifat kiasan karena setiap orang yang menderma pasti memiliki tujuan. Oleh sebab itu, jika balasan yang diharapkan hanyalah pahala dan kesucian hati, itu sudah cukup disebut sebagai kedermawanan.
Salah seorang ahli ibadah wanita pernah bertanya kepada orang-orang, “Apakah kedermawanan itu dalam konteks agama?” Mereka menjawab, “Jika kita beribadah kepada Allah dengan senang hati dan tanpa merasa terpaksa.” Sang ahli ibadah kembali bertanya, “Dan kalian mengharapkan pahala dari ibadah kalian?” Mereka menjawab, “Ya.” Sang ahli ibadah bertanya lagi, “Mengapa meminta pahala?” Mereka menjawab, “Karena Allah telah menjanjikan kepada kita sepuluh pahala atas satu kebaikan.” Sang ahli ibadah kembali bertanya, “Jika kalian memberikan satu dan mengambil sepuluh, bagaimana bisa kalian disebut dermawan?” Mereka lalu balik bertanya, “Lalu apa kedermawanan menurutmu?” Sang ahli ibadah menjawab, “Jika kalian beribadah kepada Allah dengan perasaan nikmat dan lezat dalam kepatuhan kepada-Nya. Kalian tidak mengharapkan pahala, tetapi pasrah atas apa yang dikehendaki Allah terhadap kalian.”
Salah seorang ahli ibadah mengatakan, “Apakah kalian mengira bahwa kedermawanan hanya pada dinar dan dirham saja?” Ada yang bertanya, “Lalu pada apa?” la menjawab, “Menurutku, kedermawanan terletak pada jiwa.”
Al-Muhasibi menyatakan, “Kedermawanan dalam agama ialah jika engkau mendermakan jiwa dan ragamu di jalan Allah dan hatimu pun lapang untuk mengorbankan jiwa dan meneteskan darah di jalan Allah tanpa ada paksaan, serta engkau tidak mengharapkan balasan di dunia maupun di akhirat. Meskipun engkau membutuhkan pahala, tetapi prasangka baikmu terhadap kesempurnaan sifat kedermawanan membuatmu menyerahkan pilihan kepada Allah. Dengan begitu, Allah yang akan memutuskan apa yang engkau sendiri tidak sanggup memilihnya untuk dirimu.”
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz