Dusta yang diperbolehkan
Ucapan merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan terpuji yang dapat dicapai dengan ucapan yang benar, maka tidak boleh dengan dusta. Tetapi, jika tidak mungkin dicapai kecuali dengan dusta, maka diperbolehkan berdusta. Bahkan dusta itu menjadi wajib apabila tujuan yang ingin dicapai merupakan hal yang wajib. seperti memelihara darah orang muslim.
Bila kejujuran mengakibatkan tertumpahnya darah seorang muslim, maka berdusta menjadi wajib adanya. jika dalam peperangan, mendamaikan orang yang bertikai atau mengambil hati orang yang dizalimi tidak akan berhasil kecuali dengan dusta, maka dusta Itu diperbolehkan. Hanya saja sebaiknya menjaga diri dari kedustaan semampu kita.
Umi Kultsum berkata, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wasalammemperholehkan dusta. kecuali dalam tiga hal: 1). Berdusta dengan maksud mendamaikan. 2). Berdusta dalam peperangan. 3). Berdusta kepada istri atau kepada suami (untuk membahagiakannya)”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wasalam bersabda:
“Tidak di katakan sebagai pendusta, orang yang mendamaikan dua orang yang bertikai, lalu ia mengatakan yang baik atau manambahkan yang baik” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebesar apapun kebutuhan seseorang untuk berdusta. hendaknya seseorang mengesampingkan kepentingannya dan meninggalkan dusta.
Pada umumnya manusia itu berdusta dengan tujuan untuk mencari keuntungan pribadi seperti untuk mendapatkan harta atau kedudukan. Hahkan terkadang seorang wanita menceritakan perihal suaminya dengan cerita dusta untuk membanggakan suaminya tersebut. Dusta yang demikian ini adalah haram hukumnya.
Asma binti Abu Bakar berkata. “Aku pernah mendengar seorang wanita bertanya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wasalam. ‘Ya Rasulullah! Aku adalah seorang istri yang dimadu. Aku telah banyak menceritakan sesuatu yang sesungguhnya tidak diperbuat oleh suamiku terhadapku. Ini aku lakukan agar maduku merasa sakit hatinya. Apakah aku berdosa kepadanya?’ Beliau berkata, ‘Orang yang puru-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan sama dengan orang yang memakai dua pakaian palsu'”
Termasuk juga fatwa orang alim mengenai sesuatu yang belum ia pastikan kebenaran jawabannya atau orang yang meriwayatkan hadis padahal ia sendiri masih ragu akan keshahihannya. dengan tujuan untuk menampakkan kelebihan dirinya. Ia enggan mengatakan, Aku tidak tahu’.
Begitupula dengan anak-anak, dapat disamakan dengan urusan istri. Misalnya, apabila seorang anak tidak mau berangkat untuk menuntut ilmu kecuali dengan suatu janji atau ancaman dusta, maka dusta diperbolehkan untuknya.
Sebagian orang berpikir bahwa membuat-buat hadis yang mendorong orang berbuat baik dan mengancam perbuatan dosa adalah diperbolehkan. Ini merupakan kesalahan yang jelas. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wasalam bersabda, ‘Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja. maka hendaknya ia bersiap menerima tempat duduknya di neraka’
Ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang shahih telah cukup dan tidak membutuhkan dalil lainnya. Dan berdusta atas nama Nabi adalah dosa besar yang tidak bisa ditandingi oleh dosa lainnya.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz