Apa Kewajiban Murid? Bagian Ke-1
Seorang murid hendaknya tidak menyibukkan diri jika nafsu tidak menguasainya. Jika nafsu berahi menguasai jiwanya, hendaknya ia mengekangnya dengan lapar dan puasa. Jika nafsu tidak berhasil dikekang dan ia pun tidak sanggup menjaga pandangan, menikah adalah jalan terbaik baginya. Zina mata termasuk dosa kecil yang sangat besar. Nabi Isa a.s. mengatakan, “Jauhkan diri kalian dari memandang (hal yang bisa menimbulkan nafsu berahi) karena itu bisa menumbuhkan nafsu berahi di hati. Cukuplah nafsu berahi sebagai penyebab bencana.” Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menyatakan, “Pandangan (nafsu) adalah salah satu anak panah beracun milik iblis. Siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah Swt, Dia akan memberinya keimanan yang lezatnya bisa ia rasakan di hati.” Beliau pun pernah bersabda, “Aku tidak meninggalkan sesudahku fitnah yang lebih berbahaya bagi lelaki melebihi perempuan.” Beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga bersabda, “Takutlah kalian terhadap dunia. Takutlah kalian kepada perempuan. Sesungguhnya fitnah pertama terhadap Bani Israel terkait dengan perempuan.” Allah Swt. berfirman, Katakanlah kepada orang-orang mukmin agar mereka menundukkan pandangan mereka (QS Al-Nur [24]: 30].
Seseorang menceritakan, “Nafsu menguasaiku pada masa awal hendak menjadi murid. Maka aku banyak menyebut nama Allah. Lalu dalam tidurku aku bermimpi melihat seseorang berkata, Ada apa denganmu?’ Aku pun mengadukan kepadanya apa yang menimpaku. Orang itu lalu mengatakan, ‘Mendekatlah.’ Lalu ia meletakkan tangannya ke dadaku. Lantas kurasakan dingin di hati dan seluruh tubuhku, lalu aku bangun. Sungguh, nafsu yang kurasakan sudah hilang dan aku sembuh selama setahun. Kemudian hal yang sama kembali menimpaku dan aku memperbanyak doa kepada Allah. Lalu seseorang mendatangiku dalam mimpi. Ia mengatakan, Apakah engkau ingin apa yang kaudapatkan hilang dan aku memukul Lehermu?’ Aku menjawab, ‘Iya.’ Lalu ia mengatakan, ‘Julurkan lehermu.’ Aku pun menjulurkannya. Lantas ia menghunus pedang dari cahaya, lalu menebaskannya ke leherku. Aku pun bangun. Sungguh, nafsu yang menguasaiku telah lenyap dan aku sembuh selama setahun. Kemudian hal yang sama kembali menimpaku. Lalu aku melihat seakan-akan ada seseorang di antara pinggang dan dadaku berkata kepadaku, ‘Celaka kau. Berapa kali engkau meminta Allah untuk menghilangkan apa yang tidak ingin Dia hilangkan?’ Kemudian aku menikah. Nafsu berahiku pun teratasi dan aku dikaruniai anak. Bilamana seorang murid butuh menikah, ia tidak boleh meninggalkan syarat-syarat iradah. Oleh sebab itu, ia harus mencari istri yang baik agamanya, bukan yang banyak hartanya; pernikahannya harus diawali dengan niat yang baik; dan selama berkeluarga ia harus senantiasa berbudi luhur, berlaku istiqamah secara lahir dan batin, dan memenuhi hak-hak istri.
Dikisahkan bahwa sebagian murid menikahi perempuan cantik. Ketika malam pernikahan sudah dekat, perempuan itu terserang penyakit cacar. Keluarga perempuan pun sangat berduka karena khawatir calon pengantin pria menjelek-jelekkan si perempuan. Sang murid kemudian menampakkan diri kepada mereka bahwa ia terserang penyakit mata yang menyebabkan penglihatannya hilang. Pernikahan pun akhirnya dilangsungkan dan kesedihan keluarga perempuan sirna. Perempuan itu kemudian meninggal setelah menjadi istri sang murid selama 20 tahun. Sang murid lalu membuka kedua matanya dan orang pun bertanya-tanya. Ia menjelaskan, “Aku sengaja melakukan ini agar keluarga istriku tidak bersedih.” Lalu dikatakan kepadanya, “Engkau telah mengungguli teman-temanmu dengan akhlakmu ini.”
Hendaknya seorang murid melihat pada kondisi jiwa dan hatinya. Jika jiwa dan hatinya merasa tenteram dengan melajang, maka itu lebih dekat pada suluk yang ditempuhnya. Obat bagi nafsu berahi ada tiga, yaitu lapar, menundukkan pandangan, dan menyibukkan diri dengan berbagai kesibukan yang bisa menyibukkan hati. Jika ketiga obat ini tidak mempan, menikah adalah satu-satunya yang bisa mencabut nafsunya. Karena itulah, para salaf saleh menyegerakan diri menikah.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Wada’ah, “Aku biasa duduk menemani Said bin Musayyib. Lalu aku menghilang selama beberapa hari darinya. Ketika aku datang menemuinya, ia menanyakan keberadaanku selama ini. Aku katakan kepadanya, ‘Istriku meninggal dunia dan aku sibuk mengurusnya.’ Said mengatakan, ‘Mengapa engkau tidak memberi tahu kami sehingga kami bisa ikut menshalatkan jenazahnya?’ Kemudian Said bertanya, ‘Apakah engkau menyunting seorang perempuan?’ Aku menjawab, ‘Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu. Siapa yang mau menikahkan (anaknya) denganku, yang hanya memiliki dua atau tiga dirham?’ Said menjawab, Aku.’ Aku pun mengatakan, Apakah engkau akan melakukannya?’ Said menjawab, ‘Iya.’ Lalu Said memuji Allah, membaca shalawat untuk Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam., dan menikahkan aku dengan mahar dua atau tiga dirham. Aku pun berdiri dan tidak tahu apa yang akan kulakukan karena bahagia yang kurasakan.
“Aku lalu pulang ke rumah dan berpikir kepada siapa aku akan meminta dan meminjam uang. Kemudian aku melaksanakan shalat Magrib dan kembali pulang ke rumah. Hari itu aku berpuasa, maka aku mempercepat makan malamku untuk berbuka puasa. Tiba-tiba pintu rumahku diketuk. Aku bertanya, ‘Siapa itu?’ Ia menjawab, ‘Said.’ Aku pun memikirkan semua orang yang bernama Said selain Said bin Musayyib. Sebab, selama 40 tahun ia tidak pernah terlihat selain di antara rumahnya dan masjid. Ternyata yang mengetuk pintu adalah Said bin Musayyib. Maka, aku mengira bahwa ia ingin membicarakan putrinya yang sudah ia nikahkan denganku. Aku pun berkata kepadanya, ‘Mengapa tidak mengutus orang saja untuk memanggilku? Pasti aku akan datang kepadamu.’ Said menjawab, ‘Tidak. Engkau lebih berhak untuk didatangi.’ Aku pun bertanya, ‘Lalu apa yang hendak kauperintahkan?’ Said menjawab, ‘Dulunya engkau lajang. Lalu engkau menikah. Maka, aku tidak mau membiarkanmu bermalam sendirian. Inilah istrimu.’ Ternyata istriku ada di belakangnya. Said memegang tangan istriku dan menariknya ke dalam pintu. Istriku terjatuh karena malu. Lalu aku mengambil piring berisi makanan yang tadinya hendak kumakan, lalu meletakkannya di balik bayang-bayang lampu. Aku kemudian naik ke atas genteng dan memanggil para tetangga. Mereka pun datang. Lalu kuumumkan kepada mereka, ‘Hari ini Said bin Musayyib menikahkan aku dengan putrinya, dan Said telah membawanya ke sini.’ Mereka pun bertanya, ‘Apakah dia di dalam rumah?’ Aku menjawab, ‘Iya.’ Lalu mereka masuk ke rumah. Berita ini kemudian sampai ke telinga ibuku, lalu beliau pun datang dan mendandani istriku selama tiga hari. Setelah tiga hari, barulah aku berkumpul dengan istriku. Ternyata ia hafal Al-Quran dengan sangat baik, memahami sunnah Nabi dengan sangat baik, dan mengerti betul hak-hak suaminya.”
“Aku di rumah saja selama satu bulan. Kemudian aku menemui Said ketika ia sedang berada dalam majelisnya. Aku ucapkan salam kepadanya, lalu dia menjawab salamku. Ketika orang-orang dalam majelis sudah bubar, Said bertanya, ‘Bagaimana kabar dia?’ Aku menjawab, ‘Ia baik-baik saja, sebagaimana yang diinginkan sahabat dan tidak dikehendaki oleh musuh.’ Ia lalu mengatakan, ‘jika engkau meragukan apa pun terkait dia, hindari penggunaan kekerasan.’ Aku lalu pulang ke rumah dan Said memberiku 20 ribu dirham.”
Abdul Malik bin Marwan pernah melamar putri Said bin Musayyib tersebut untuk- anaknya yang bernama Walid, ketika ia menobatkan sang anak menjadi putra mahkota. Tapi Said menolak. Maka Abdul Malik pun melakukan berbagai upaya hingga akhirnya mencambuk Said sebanyak seratus cambukan, mengguyurnya dengan air di tengah cuaca yang sangat dingin, dan memakaikan jubah dari wol kepadanya. Semoga Allah meridhai Said dan melimpahkan rahmat-Nya kepadanya.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salamber sabda, “Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah di bawah Arsy-Nya pada hah yang tidak ada naungan melainkan naungan-Nya. Di antaranya adalah … lelaki yang diajak oleh perempuan pemilik kedudukan dan kecantikan untuk berbuat (buruk) dengan dirinya, tetapi lelaki itu justru mengatakan, ‘Sungguh, aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.‘…
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz