Perbedaan Terkait Hukum Lapar dan Keadaan Manusia
Ketahuilah bahwa tujuan paling puncak adalah titik tengah. Maka, perkara yang terbaik adalah yang tengah. Mengenai hal ini Allah memberikan isyarat, Makan dan minumlah kalian, tetapi jangan berlebihan (QS Al-A’raf [7]: 31). Bilamana seseorang belum merasa lapar maupun kenyang, ia akan mudah menjalankan ibadah dan berpikir. Ia pun merasa ringan dan kuat dalam bekerja. Akan tetapi, kondisi ini hanya terjadi pada orang yang sudah seimbang karakternya.
Pada masa-masa awal, ketika nafsu sulit dikendalikan dan cenderung berlebihan, keseimbangan semacam itu tidak bermanfaat. Yang harus dilakukan adalah membuat perut sangat lapar. Bila jiwa sudah terbiasa dengan kondisi tersebut, ia akan kembali pada kondisi seimbang, dan tidak perlu lagi dibuat kelaparan. Atas dasar itulah, seorang guru pembimbing ruhani memerintahkan muridnya melakukan apa yang tidak ia lakukan. Sebab, sang guru sudah selesai’ menempa dirinya dengan tempaan semacam itu. Maka, ketika yang sering menguasai jiwa manusia adalah sifat rakus, sulit dikendalikan (liar) dan malas beribadah, yang paling baik baginya adalah lapar yang bisa membuatnya merasakan kesakitan. Tujuannya, agar sifat-sifat itu musnah, dan jiwa kembali pada kondisi seimbang.
Di antara para peniti jalan menuju akhirat, hanya dua kelompok yang tidak membiasakan diri lapar. Mereka adalah orang-orang shiddiq dan orang-orang bodoh yang teperdaya. Orang-orang shiddiq tidak berlapar-lapar diri karena mereka sudah beristiqamah di jalan yang lurus dan tidak perlu lagi dididik dengan cambuk lapar. Adapun orang-orang yang teperdaya tidak mau membiasakan lapar karena menyangka diri mereka termasuk orang-orang shiddiq yang sudah tidak perlu lagi menempa diri. Inilah tipu daya yang sangat besar. Sesungguhnya hanya sebagian kecil jiwa manusia yang terdidik dengan baik, sementara sebagian besar mereka teperdaya. Orang yang teperdaya melihat orang-orang shiddiq, lalu menyamakan dirinya dengan mereka. Ia laksana orang sakit yang melihat orang sehat, lalu mengonsumsi apa yang dimakan orang sehat karena menganggap dirinya sudah sehat. Maka, celakalah ia.
Di antara bukti bahwa pembatasan porsi makan bukanlah tujuan. Akan tetapi hanya dimaksudkan untuk menempa diri dalam mengekang nafsu. Karena Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sendiri tidak pernah menentukan porsi maupun waktu makan. Aisyah r.a. mengatakan, “Beliau kadang berpuasa sehingga kami mengatakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun kadang tidak berpuasa sehingga kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa.”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pada suatu waktu masuk ke rumah istrinya menanyakan, “Apakah kalian mempunyai sesuatu (untuk dimakan)?” Jika mereka mengiyakan, beliau makan. Jika mereka menjawab “tidak”, beliau mengatakan, “Aku berpuasa.”
Suatu ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam keluar (ke rumah istrinya), lalu mengatakan, “Aku berpuasa.” Lalu Aisyah mengatakan, “Wahai Rasulullah. Ada yang telah menghadiahkan hais kepada kita. Lantas beliau mengatakan, “Tadi pagi aku (berniat) berpuasa, tapi bawa saja ke sini.” (Lalu beliau memakannya).
Dikisahkan bahwa Sahal At-Tustari ditanya oleh seseorang, “Bagaimana dulu engkau memulai (untuk menjadi orang zuhud seperti sekarang)?” Sahal pun menceritakan berbagai latihan yang pernah ia lakukan. Sang penanya lantas bertanya lagi, “Lalu bagaimana dirimu sekarang?” Sahal menjawab, “Sekarang aku makan tanpa pembatasan porsi dan waktu.”
Para pencari ilmu dengan cara mendengar dan taklid tentu akan melihat kontradiksi dari apa yang dikisahkan mengenai para tokoh-tokoh zuhud, lalu ia menjadi bingung. Adapun orang yang melihat dengan mata batin akan tahu bahwa semua itu benar karena perbedaan kondisi tiap-tiap tokoh itu. Perbedaan kondisi tersebut juga diketahui oleh orang yang berhati-hati dalam agamanya dan orang-orang yang bodoh dan teperdaya. Orang yang berhati-hati dalam agamanya dan cerdas mengatakan, “Diriku tidak sekuat tokoh-tokoh besar itu, yang telah menahan diri dari banyak hal.” Adapun orang yang bodoh dan teperdaya mengatakan, “Diriku tidak lebih banyak dosanya daripada mereka yang porsi makannya besar.” Oleh karena itu, seorang guru yang membimbing murid tingkat pemula hanya perlu menyanjung lapar agar setan tidak mendapatkan tempat untuk membisikkan ke hati sang murid, “Sesungguhnya engkau seorang arif yang sempurna. Tidak ada lagi kesempurnaan yang engkau lewatkan.”
Umar r.a. juga mendidik anaknya, Abdullah, dengan cara seperti ini. Pada suatu waktu Umar masuk ke rumah Abdullah dan mendapatinya sedang menyantap daging yang direbus dengan minyak samin. Lantas Umar bersiap memukul Abdullah dengan cambuk. Umar mengatakan, “Jangan lakukan hal seperti ini. Makanlah hari ini roti dan daging, besok roti dan susu, besoknya roti dan samin, besoknya lagi roti dan lemak, besoknya lagi roti dan garam, besoknya lagi roti kering tanpa lauk.” Inilah keseimbangan. Terus-menerus memakan daging termasuk berlebihan, tetapi meninggalkan daging secara total adalah bentuk kekikiran. Seimbanglah di antara dua kondisi itu.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz