Menempa Diri untuk Mengekang Nafsu Makan
Terkait dengan perut, seorang murid (orang yang menempuh jalan menuju Allah) mempunyai empat kewajiban.
Kewajiban pertama, hendaknya ia hanya mengonsumsi makanan yang halal. Beribadah dengan mengonsumsi makanan haram sama seperti mendirikan bangunan di atas gelombang air laut.
Kewajiban kedua, hendaknya ia menyedikitkan porsi makan dan berlatih secara bertahap untuk mengurangi porsi makan. Ia boleh mengurangi porsi makan dengan ukuran timbangan maupun perkiraan, yaitu dengan mengurangi porsi makan sebanyak satu suapan setiap hari. Kemudian dalam hal ini terdapat empat tingkatan.
Tingkatan tertinggi, mengembalikan porsi makan sesuai yang seharusnya, yaitu sekadar untuk menyangga badan. Ini adalah tingkatan orang-orang shiddiqin (orang-orang yang keimanannya sudah tidak diragukan lagi).
Tingkatan kedua, mengurangi porsi makan menjadi setengah mudd,yaitu kira-kira satu potong roti dan secuil. Porsi ini mungkin setara dengan sepertiga isi lambung bagi orang kebanyakan. Umar r.a. biasa makan dengan porsi tujuh atau sembilan suapan.
Tingkatan ketiga, mengurangi porsi makan menjadi satu mudd, yaitu kira-kira dua potong roti dan setengahnya.
Tingkatan keempat, mengembalikan porsi makan menjadi lebih dari satu mud hingga satu mann. Porsi lebih dari itu bisa jadi merupakan pemborosan bagi kebanyakan orang. Sebab, porsi makan yang sesuai dengan kebutuhan berbeda di antara manusia dikarenakan perbedaan usia, tipe orang, dan pekerjaan yang digeluti.
Selain itu, ada tingkatan kelima yang tidak jelas porsinya, dan karenanya sering disalahartikan. Yaitu seseorang hendaknya makan jika sudah benar-benar merasa lapar, dan segera berhenti ketika ia sudah merasa tidak lapar. Tanda seseorang benar-benar lapar adalah bilamana ia tetap makan walaupun tidak ada lauk.
Porsi makan tidak sama bagi tiap-tiap orang dan tiap-tiap kondisi. Makanan pokok sekelompok sahabat Nabi pada setiap pekan sebanyak satu sha’ gandum. Artinya, setiap hari mereka makan sekira setengah mud, sepadan dengan sepertiga kapasitas perut. Adapun makanan pokok ahli shuffah sebanyak satu mud… kurma kering untuk dua orang setiap hari.Hasan Al-Bashri r.a. menuturkan, “Orang mukmin bagaikan kambing betina yang masih kecil. Cukuplah baginya segenggam kurma kering berkualitas rendah, sekepal sawiq, dan seteguk air. Adapun orang munafik laksana binatang buas yang liar. Ia makan sangat banyak dan kerongkongannya terus membesar. Ia tak bisa menahan lapar demi tetangganya. Ia pun tak pernah memberikan kelebihan makanannya kepada saudaranya yang mukmin. Karena itu, dermakanlah kelebihan yang ada pada kalian.”
Kewajiban ketiga terkait dengan waktu makan dan lamanya penundaan. Orang-orang pada tingkat tertinggi bisa menahan lapar hingga tiga hari atau bahkan lebih. Orang-orang pada tingkat kedua bisa menahan lapar selama dua hingga tiga hari. Adapun mereka yang berada pada tingkat ketiga hanya makan sekali dalam sehari.
Kewajiban keempat menyangkut jenis makanan dan lauknya. Makanan yang paling baik adalah (yang terbuat dari] sari gandum; yang sedang adalah (yang terbuat dari) sari sya’ir; dan yang paling rendah adalah (yang terbuat dari) sya’ir yang masih kasar. Jenis lauk yang paling baik adalah daging dan manisan (dari samin dan madu); yang paling rendah adalah garam dan cuka; dan yang sedang adalah lemak (hewani maupun nabati) tanpa daging.
Siapa yang senantiasa mengonsumsi jenis makanan dan lauk yang paling baik, berarti jiwanya terbiasa dengan kenikmatan, sehingga ia menyukai kelezatan dunia dan berusaha mendapatkannya, lalu hal itu menyeretnya pada kemaksiatan. Wahb bin Munabbih menceritakan, “Dua malaikat bertemu di langit keempat. Salah satunya bertanya, ‘Kamu dari mana?’ Yang ditanya menjawab, ‘Aku disuruh menggiring ikan di laut yang diinginkan oleh seorang pemeluk Yahudi—semoga Allah mengutuknya.’ Yang pertama mengatakan, ‘Aku diperintah untuk menumpahkan minyak yang diinginkan seorang hamba yang saleh.'” Salah satu ibadah yang paling utama adalah melawan hawa nafsu dan meninggalkan kenikmatan.
Syaqiq bin Ibrahim menceritakan: Aku pernah bertemu Ibrahim bin Adham di Makkah, di suatu pasar malam pada waktu perayaan Maulid Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salamWaktu itu ia sedang menangis di salah satu sudut jalan. Aku pun mendekatinya dan bertanya, “Mengapa menangis, wahai Abu Ishaq?” Ia menjawab, “Tidak ada-apa.” Aku pun mengulangi pertanyaanku. Ia mengatakan, “Simpan rahasia ini wahai Syaqiq.” Aku katakan kepadanya, “Katakan saja apa yang engkau mau.” Ia pun menceritakan, “Sejak tiga puluh tahun yang lalu nafsuku menginginkan sakbaj, tetapi aku bisa menahan diri hingga semalam. Waktu itu aku duduk dan tertidur. Tiba-tiba aku sudah bersama seorang pemuda yang membawa gelas berwarna hijau. Dari gelas itu tercium bau sakbaj. Aku pun berusaha sekuat daya untuk menjauhinya, tetapi pemuda itu justru mendekatkannya padaku. Ia mengatakan, ‘Hai Ibrahim. Makan ini.’ Kukatakan padanya, ‘Aku sudah meninggalkannya karena Allah Swt.’ Ia mengatakan, ‘Allah telah menyuguhkannya padamu. Makanlah.’ Aku pun menangis. Pemuda itu mengatakan, ‘Makanlah. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu.’ Kukatakan kepadanya, ‘Sungguh, kita diperintahkan untuk tidak memasukkan apa pun ke dalam perut kita, kecuali kita tahu dari mana itu berasal.’ Ia mengatakan, ‘Makanlah. Semoga Allah memberikan kesehatan kepadamu. Aku berikan ini kepadamu.’ Lalu ada yang mengatakan kepadaku, ‘Hai Khidir. Bawa ini dan suapi Ibrahim bin Adham. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan rahmat kepadanya karena ia telah sekian lama bersabar untuk menahan diri tidak memakan sakbaj. Ketahuilah Ibrahim, aku pernah mendengar para malaikat mengatakan: Siapa yang diberi, lalu menolak maka saat meminta, ia tidak akan diberi.’ Aku pun mengatakan, ‘Kalau begitu, aku di sini siap membuat perjanjian dengan Allah.’ Lantas aku menoleh, ternyata aku sudah bersama pemuda yang lain lagi. Ia mengatakan, ‘Wahai Khidir. Suapi dia.’ Lalu dia terus-menerus menyuapiku hingga aku mengantuk. Aku pun tersadar, dan rasa manis sakbaj masih tersisa di mulutku.” Syaqiq mengatakan, “Berikan tanganmu.” Aku pun mencium tangannya dan berdoa kepada Allah. Ibrahim lalu berdiri dan berjalan hingga kami sampai di rumah.
Salah seorang menceritakan, “Aku menemui Qasim Al-Jur’i. Lantas kutanyakan kepadanya tentang zuhud, ‘Apakah zuhud itu?’ Ia menjawab, ‘Apa saja yang pernah kaudengar tentang zuhud?’ Aku pun menjelaskan beberapa pendapat tentang zuhud yang pernah kudengar. Ia hanya diam, lalu kutanyakan kepadanya, ‘Lalu apa pendapatmu tentang zuhud?’ Ia menjawab, ‘Ketahuilah, perut adalah dunia seorang hamba. Seberapa besar ia menguasai perutnya, sebesar itu pula kadar kezuhudannya. Dan sebesar apa perutnya menguasai dirinya, sebesar itu pula dunia menguasainya.'”
Dengan demikian, secara umum jiwa tidak boleh dibiarkan begitu saja mengonsumsi makanan-makanan yang diperbolehkan (mubah). Kenikmatan yang diperoleh seseorang di akhirat nanti selaras dengan besarnya perjuangan mengekang nafsu di dunia. Abu Sulaiman mengatakan, “Meninggalkan satu nafsu lebih bermanfaat bagi hati daripada puasa ditambah shalat malam selama setahun.” Semoga Allah memberikan kita petunjuk pada apa yang diridhai-Nya.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz