Beberapa Syarat bagi Orang yang Ingin Meniti Jalan Menuju Allah dan Tahapan Amal bagi Murid yang Meniti Jalan kepada-Nya
Siapa yang menyaksikan akhirat melalui hatinya dengan penuh keyakinan, ia telah menjadi seorang murid (orang yang meniti jalan menuju Allah) yang menapaki jalan menuju akhirat dan merindukannya, seraya menganggap hina segala kenikmatan dan kelezatan dunia. Sebab, jika ada orang mempunyai emas berlian, lalu menyaksikan intan permata, niscaya tak akan tersisa di hatinya sedikit pun rasa suka terhadap emas berlian. Hasratnya pun akan menguat untuk menukar emas berliannya dengan intan permata. Maka, barang siapa tidak menginginkan akhirat, itu dikarenakan ia tidak beriman.
Yang saya maksudkan dengan keimanan di sini bukanlah sekadar ucapan hati dan lisan melafalkan kalimat syahadat tanpa keyakinan dan keikhlasan. Sebab, hal itu seperti orang yang meyakini bahwa permata lebih baik daripada emas berlian, tetapi ia tidak mengetahui permata itu sendiri, kecuali hanya namanya saja. Bahkan, mungkin saja ia tidak mau mengabaikan emas berlian dan tidak pula berkeinginan kuat untuk mendapatkan permata. Jadi, yang menghalangi seseorang untuk sampai adalah tidak adanya suluk (upaya menapaki jalan Allah); yang menghalangi adanya suluk adalah ketiadaan keinginan; sedangkan yang menghalangi adanya keinginan adalah tidak adanya iman atau lemahnya iman. Adapun penyebab lemahnya iman adalah tidak adanya orang yang memberikan petunjuk, menegur, memberikan bimbingan, dan mengingatkan akan kehinaan dunia serta keagungan dan kelanggengan akhirat.
Jika seseorang yang diberi peringatan sadar, akan muncul dari dalam dirinya hasrat terhadap akhirat. Jika sudah demikian keadaannya, hendaknya ia tahu bahwa hal pertama yang harus ia lakukan adalah mengangkat hijab yang menghalanginya dari Allah, yaitu harta, kedudukan, taklid, dan kemaksiatan. Maka, (syarat bagi orang yang hendak menjadi murid adalah) hatinya tidak boleh bertautan dengan harta yang tidak ia perlukan. Hati harus menjauh dari jabatan, dengan cara bersikap rendah hati dan mengutamakan diri menjadi orang yang tak dikenal. Hati hendaknya membuka hijab taklid, dengan cara meninggalkan fanatisme mazhab dan hawa nafsu. Hati hendaknya bertobat dan meninggalkan berbagai kezaliman dengan sungguh-sungguh. Siapa yang’ tidak bersungguh-sungguh dalam bertobat, tetapi ingin mengetahui berbagai rahasia agama, ia laksana orang yang ingin memahami berbagai rahasia Al-Quran, tetapi tidak mau belajar bahasa Arab. Oleh karena itu, hendaknya ia mendahulukan belajar bahasa Arab, baru kemudian mempelajari berbagai rahasia makna. Sama seperti itu, seorang murid pun hendaknya terlebih dahulu mengamalkan syariat dengan benar, baru kemudian memahami berbagai rahasianya.
Jika seorang murid sudah memiliki empatsyarattersebut, ia laksana orang yang sudah bersuci sehingga sudah boleh mengerjakan shalat. Maka ia pun membutuhkan seorang imam yang menjadi panutannya. Seorang murid pun demikian, ia memerlukan seorang guru yang bisa membimbingnya. Jika seseorang tidak mempunyai guru yang membimbingnya, setanlah yang membimbingnya menuju jalan setan. Orang yang berdiri sendiri bagaikan pohon yang tumbuh dengan sendirinya, yang tak lama kemudian akan mengering. Kalaupun tetap tumbuh, ia tidak akan berbuah.
Jika seorang murid sudah mendapatkan guru, guru itulah yang menjadi pegangannya. Ia pun berkewajiban untuk melindungi dirinya dengan benteng yang kokoh, yaitu empat perkara: lapar, bangun malam, diam, dan menyepi. Sahal bin Abdillah At-Tustari menuturkan, “Seseorang bisa menjadi abdal (orang-orang saleh)20 dikarenakan empat hal: mengempiskan perut, bangun malam, diam, dan mengasingkan diri dari manusia.” Nabi Isa mengatakan, “Wahai para muridku. Jadikan perut kalian lapar agar hati kalian bisa melihat Tuhan.” Diam bisa menyuburkan nalar, mendatangkan sifat wara (menjauhi larangan dan nafsu), dan mengajarkan ketakwaan.
Setelah membentengi diri dengan empat hal tersebut, seorang murid hendaknya menyibukkan diri untuk menyingkirkan rintangan menuju kepada-Nya, yaitu sifat-sifat buruk di hati. Sebagian sifat itu lebih sulit disingkirkan daripada sebagian yang lain. Selain membersihkan jasmani dari berbagai hijab-hijab lahiriah, yaitu segala keterkaitan dengan dunia, seorang murid juga harus membersihkan batinnya dari dampak yang ditimbulkan oleh hijab-hijab lahiriah tersebut. Untuk itu, ia harus menempa diri, yaitu dengan melawan kehendak nafsu.
Kemudian, seorang guru hendaknya mewajibkan muridnya mengamalkan zikir tertentu agar hatinya senantiasa mengingat Allah. Seorang murid hendaknya terus mengamalkan zikir itu hingga gerakan lisannya terhenti dan ucapan zikir seakan berjalan sendiri di atas lisannya meskipun lidah tidak bergerak. Meskipun demikian, ia pun harus tetap senantiasa mengamalkan zikir itu hingga lafal yang tertulis di hati tersebut terhapus dan hakikat maknanya terpatri di hati, selalu hadir bersamanya, dan mengingatkan dirinya jika ada sesuatu selain Allah melintas di sana. Jika sudah begitu, hendaknya seorang murid senantiasa membenci segala hal yang melintas di hatinya yang tidak mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. Ia pun hendaknya senantiasa menjaga hatinya dari berbagai khayalan palsu dan menanamkan padanya penyucian Allah. Ia hendaknya terus berupaya seperti itu hingga mendapatkan dirinya senantiasa bersama Allah. Itulah puncak dari penempaan diri. Namun, hal itu tidak bisa diperoleh, kecuali dengan mengasingkan diri dari selain Allah; dan seseorang tidak bisa mengasingkan diri dari selain Allah, kecuali melalui upaya sungguh-sungguh menempa diri dalam waktu yang lama.
Sebagian pelancong menceritakan, “Aku pernah bertanya kepada sebagian abdal (orang-orang saleh), ‘Bagaimanakah cara untuk mencapai hakikat?’ Ia menjawab, ‘Berlakulah seakan-akan engkau menyeberangi jalan.’ Aku bertanya lagi, Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang bisa membuat hatiku senantiasa bersama Allah.’ Ia menjawab, ‘Jangan melihat makhluk Allah. Melihat mereka bisa membuat hati menjadi gelap.’ Aku katakan, Aku tidak bisa.’ Lantas ia mengatakan, ‘Kalau begitu, jangan dengarkan pembicaraan mereka karena itu bisa membuat hatimu keras.’ Aku mengatakan, Aku tidak bisa.’ Lalu ia mengatakan, ‘Kalau begitu, jangan bergaul dengan mereka karena itu bisa membuat hatimu gundah.’ Aku pun mengatakan, ‘Aku tidak bisa.’ Ia mengatakan, ‘Kalau begitu, jangan mengharapkan ketenteraman dari mereka karena itu bisa menghancurkanmu.’ Lantas aku katakan, ‘Mungkin ini bisa kulakukan.’ Lalu ia menyatakan, ‘Engkau ini bagaimana. Engkau melihat orang-orang lalai, mendengarkan pembicaraan orang-orang bodoh, dan bergaul dengan orang-orang jahat, tetapi engkau ingin hatimu senantiasa bersama Allah!?'”
Kemudian, jika seorang murid telah disingkapkan kepadanya sebagian dari keagungan ketuhanan dan telah muncul padanya berbagai kelembutan Allah yang tak bisa didefinisikan, rintangan terbesar baginya adalah hasrat untuk membicarakan hal tersebut. Maka, ia mendapati dirinya merasa senang untuk memikirkan cara menyampaikan makna-makna yang tak bisa didefinisikan itu. Setan pun memperdayanya, bahwa menceritakan pengalaman ruhani tersebut bermanfaat bagi banyak orang dan sebagai bentuk kasih sayangnya kepada mereka. Tipu daya setan yang lain, jika salah seorang temannya sesama murid menceritakan pengalaman ruhani tersebut dan lebih mampu untuk mendeskripsikannya, ia pun tergerak untuk mendengkinya. Hal itu menunjukkan tidak adanya kejujuran iman dalam dirinya. Seorang yang jujur pasti akan sangat gembira dengan adanya orang yang menyelamatkan manusia. Dan Allah niscaya membalas orang yang menuju kepada-Nya bilamana orang itu jujur keimanannya. Hanya kepada-Nya kita memohon petunjuk.
Segala puji bagi Allah semata. Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada junjungan kita, Muhammad, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan semua hamba yang terpilih (untuk meniti jalan menuju kepada-Nya). Hanya kepada-Nya saya memohon petunjuk. Hanya kepada-Nya pula saya berserah diri dan bertobat.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz