Cara Menempa dan Mendidik Anak
Mendidik anak termasuk perkara yang sangat penting. Anak adalah amanat bagi ayah dan ibunya. Hati anak adalah permata berharga yang bisa menerima apa pun yang dipahatkan dan diarahkan padanya. Siapa yang dibiasakan dengan kebaikan, ia akan tumbuh bersama kebaikan itu dan hidup bahagia. Orangtua dan guru-gurunya pun akan turut serta dalam kebahagiaan bersamanya. Dan siapa yang dibiasakan dengan keburukan dan diabaikan pendidikannya, ia akan hidup sengsara dan celaka, sedangkan dosanya dipikul oleh orang yang mengasuhnya dan orang yang menjadi walinya. Allah Swt. berfirman, Wahai orang-orangyang beriman! Jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka (QS Al-Tahrim [66]: 6). Seorang ayah dan wali berkewajiban mendidik anaknya. Di antaranya, dengan menjauhkan si anak dari teman-teman yang buruk, tidak membiasakannya menuruti hawa nafsu dan berlebihan dalam kenikmatan, serta menghindarkannya dari pola hidup mewah dan menyukai perhiasan. Seorang ayah juga harus mengamati pendidikan anaknya sedari lahir. Jika ia menyewa orang untuk mengasuhnya, orang itu harus seorang perempuan yang baik agamanya dan halal makanannya.
Bilamana seorang ayah sudah melihat tanda anaknya sudah bisa membedakan antara yang baik dan buruk (mumayyiz), ia harus lebih baik lagi dalam memantaunya. Tanda-tanda awal bahwa seorang anak sudah mumayyiz adalah munculnya rasa malu. Perasaan malu merupakan pancaran cahaya akal, dan itu adalah anugerah dari Allah.
Seorang anak yang sudah bisa merasa malu hendaknya tidak diabaikan, tetapi harus dibantu dalam menghadapi perasaan malu tersebut. Maka, ia hendaknya dididik tata cara makan, karena sifat pertama yang biasanya menguasai anak-anak adalah rakus pada makanan. Anak harus dididik agar makan dengan tangan kanan, membaca basmalah sebelum menyantapnya, memakan apa yang di depannya saja, tidak mendahului orang lain, tidak menatap orang yang sedang makan, tidak tergesa-gesa menghabiskan makanan, mengunyah makanan dengan baik, tidak menyuapkan makanan ke mulut sebelum suapan sebelumnya habis, serta tidak mengotori tangan dan pakaiannya dengan makanan. Selain itu, anak pun hendaknya dibiasakan makan roti kering pada waktu-waktu tertentu,18 dijauhkan dari gaya hidup banyak-makan (dengan menyerupakan orang yang banyak makan dengan binatang ternak), dibuat senang untuk mengutamakan makanan bagi orang lain, serta dibiasakan tidak terlalu memikirkan makanan dan bersikap qana’ah terhadap makanan yang sederhana. Anak pun hendaknya dibuat senang terhadap pakaian putih dan dijauhkan dari orang-orang yang memperdengarkan hal-hal yang bisa membuatnya menyukai kemewahan. Kemudian, anak juga harus disibukkan untuk bersekolah dan mengaji, untuk mempelajari Al-Quran, Hadis Nabi, dan kisah orang-orang mulia, guna menanamkan pada jiwanya kecintaan terhadap orang-orang saleh.
Bilamana sifat-sifat terpuji tampak pada diri anak, ia harus dihormati dan diberi hadiah yang bisa membuatnya senang. Jika pada suatu saat ia berbuat salah untuk kali pertama, hendaknya kesalahan itu dilupakan, apalagi jika ia berusaha untuk menutupinya. Namun, jika ia mengulangi kesalahan itu untuk kedua kalinya, ia harus diperingatkan secara sembunyi-sembunyi dan ditakuti-takuti. Sebaiknya dikatakan kepadanya, “Jangan kamu ulangi agar aibmu ini tidak tersebar luas.” Anak pun hendaknya dijauhkan dari berbagai bentuk kemalasan, dibiasakan menggunakan tikar dan pakaian berkualitas rendah, dibiasakan mengonsumsi makanan berkualitas biasa, dibiasakan berjalan dan berolahraga, dilatih untuk berjalan dengan tenang dan tidak jelalatan, dilarang membanggakan apa pun yang dimiliki orangtuanya baik itu berupa makanan, pakaian, dan perkakas yang dipunyainya, dibiasakan bersikap rendah hati, dilarang meminta kepada orang lain, serta diajarkan bahwa memberi lebih baik daripada menerima dan bahwa meminta merupakan kehinaan dan perbuatan tercela.
Anak pun harus diajari tatakrama berada di dalam suatu majelis. Ia hendaknya dibiasakan untuk tidak meludah, meler, dan menguap di depan orang lain, tidak membelakangi orang lain, tidak meletakkan satu kakinya di atas kaki yang lain, tidak menopang dagunya dengan telapak tangan dan tidak pula menyangga kepalanya dengan lengan karena itu merupakan tanda kemalasan, dilarang bersumpah dan memulai pembicaraan, dibiasakan untuk mendengarkan ucapan orang lain dengan saksama, dibiasakan berdiri untuk menghormati orang yang lebih terhormat dan memberikan tempat baginya, serta dijauhkan dari orang-orang yang terbiasa melaknat, mencaci, berkata kotor, dan bercanda.
Anak sebaiknya diizinkan bermain permainan yang baik, yang bisa menghilangkan keletihannya dalam belajar sehingga ia bisa kembali giat dan bersemangat. Anak pun hendaknya tidak dipaksa untuk senantiasa belajar karena itu bisa membuat kecerdasannya tumpul, menjadikannya mengupayakan berbagai cara agar selesai belajar dengan cepat, dan membuatnya tidak menyukai belajar. Anak hendaknya diajarkan untuk patuh dan menghormati kedua orangtuanya, pengajarnya, pengasuhnya, dan orang yang lebih tua darinya. Anak juga diajari untuk tidak bermain-main di depan mereka. Dan bilamana anak sudah mencapai usia tamyiz, ia hendaknya tidak dibiarkan meninggalkan tatakrama kesucian dan shalat, diperintahkan untuk berpuasa selama beberapa hari pada bulan Ramadhan, serta ditakut-takuti dari mencuri, berkhianat, berdusta, dan semua sifat buruk yang biasanya menyerang anak-anak.
Bilamana anak-anak telah mencapai usia balig dan telah terdidik sebagaimana telah disebutkan di atas, bisa diberitahukan kepadanya beberapa rahasia di balik berbagai perintah dan larangan. Maka, hendaknya dijelaskan kepadanya bahwa tujuan dari mengonsumsi makanan adalah menguatkan badan dalam kerangka kepatuhan kepada Allah, bahwa dunia tidak ada artinya dan hanya rumah singgah, bahwa akhirat adalah rumah tinggal yang sebenarnya, dan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang mengumpulkan bekal untuk kehidupan di akhirat sehingga ia mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah dan nikmat yang besar di surga.
Jika anak tumbuh dalam pendidikan yang benar, penjelasan seperti di atas akan berpengaruh, bermanfaat, dan menancap di hatinya tatkala ia memasuki usia balig. Jika tidak, hatinya tidak akan bisa menerima kebenaran sebagaimana dinding yang menolak ditempeli debu kering. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dengan fitrahnya, tetapi ayah dan ibunya yang membuatnya menjadi pemeluk Yahudi, Nasrani, atau Majusi”
Sahal bin Abdillah At-Tustari menceritakan, “Ketika aku berusia tiga tahun, aku bangun malam dan melihat pamanku dari pihak ibu, Muhammad bin Sawwar, mengerjakan shalat. Maka, pada suatu hari pamanku tersebut bertanya kepadaku, Tidakkah kau mengingat Allah yang telah menciptakanmu?’ Aku menjawab, “Dengan cara apa aku mengingat-Nya?’ Ia mengatakan, ‘Katakan dengan hatimu, tanpa menggerakkanlidahmu, ketika engkau menggantipakaianmu,sebanyak tiga kali: Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku.’ Kemudian aku mengamalkan hal itu selama beberapa malam. Setelah itu, kuberitahukan keadaanku kepadanya, lalu ia mengatakan, ‘Ucapkan setiap malam sebanyak tujuh kali.’ Aku pun mengamalkan perintahnya. Setelah itu, kuberitahukan keadaanku kepadanya, lalu ia mengatakan, ‘Ucapkan hal itu sebelas kali setiap malam.’ Aku pun menuruti perintahnya, lalu kurasakan suatu kenikmatan dari ucapan tersebut di hatiku. Ketika sudah berjalan setahun mengamalkannya, paman mengatakan kepadaku, ‘Jaga apa yang kuajarkan kepadamu, amalkan terus hingga engkau masuk ke Hang kubur. Itu bermanfaat bagimu di dunia dan di akhirat.’ Aku pun senantiasa mengamalkan amalan itu hingga beberapa tahun dan aku pun mendapatkan kenikmatan dari ucapan itu dalam sanubariku. Kemudian pada suatu hari pamanku mengatakan kepadaku, ‘Wahai Sahal. Apakah orang yang Allah ada bersamanya, melihat dan menyaksikannya, akan berbuat durhaka kepada-Nya? Jauhi olehmu kemaksiatan.’ Lalu aku mulai senang menyendiri. Kemudian keluargaku mengirimku di sekolah. Lalu aku katakan, ‘Aku khawatir kebiasaanku mengingat Allah akan hilang. Maka buatlah kesepakatan dengan pengajarku agar aku hanya belajar beberapa jam kepadanya lalu aku boleh pulang.’ Kesepakatan kemudian tercapai dan aku pun belajar Al-Quran dan berhasil menghafalnya pada saat berusia enam atau tujuh tahun. Pada waktu itu aku terbiasa berpuasa dan makananku hanya roti gandum.”
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz