Tanda-Tanda Budi Pekerti yang Baik
Sebagian orang yang telah berjuang untuk menempa diri dengan perjuangan kecil berupa menjauhi dosa-dosa besar, terkadang beranggapan bahwa mereka telah berhasil memperbaiki budi pekerti mereka. Oleh sebab itu, tanda-tanda budi pekerti yang baik perlu dijelaskan di sini..
Sesungguhnya budi pekerti yang baik ialah iman. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sebelum ia mampu mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” Beliau juga menyatakan, “Barang siapa beriman kepada Allah dan rasuI-Nya, hendaknya ia memuliakan tamunya; dan barang siapa beriman kepada Allah dan rasul-Nya, hendaknya ia mengucapkan perkataan yang baik atau diam saja” Sabdanya yang lain, “Jika engkau menemukan orang yang diberi anugerah kezuhudan terhadap dunia dan sedikit bicara, mendekatlah kepadanya. Sesungguhnya ia memancarkan hikmah.” Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa merasa senang dengan kebaikannya dan merasa susah dengan keburukannya, sesungguhnya ia seorang mukmin.”
Cobaan pertama dan utama yang dihadapi budi pekerti yang baik adalah kesabaran dalam menerima perlakuan buruk dan ketegaran dalam menghadapi perilaku kasar. Barang siapa mengeluhkan keburukan budi pekerti orang lain, itu menunjukkan keburukan budi pekertinya sendiri. Pada suatu hari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salamberjalan bersama Anas r.a. Beliau mengenakan selendang Najran yang pinggiran kainnya kasar. Lalu bertemulah mereka dengan seorang Arab badui dan orang itu tiba-tiba menarik dengan keras selendang di leher Rasul. Anas r.a. menceritakan, “Aku melihat leher Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salamTampak selendang itu meninggalkan bekas di leher beliau karena kerasnya tarikan orang badui tersebut. Orang itu lalu mengatakan, ‘Wahai Muhammad. Beri aku harta Allah yang ada padamu.’ Baginda Rasul lantas menoleh kepadanya dan tertawa. Kemudian beliau memerintahkanku untuk memberinya sesuatu.”
Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham pergi ke kawasan gurun. Lalu datanglah seorang tentara kepadanya seraya bertanya, “Apakah engkau seorang hamba?” Ia menjawab, “Ya.” Tentara itu kembali bertanya, “Di manakah permukiman?” Ibrahim menunjuk pada tanah kuburan. Tentara itu mengatakan, “Maksudku tanah permukiman.” Ia menjawab, “Ya, itu tanah permukiman.” Jawaban Ibrahim membuat marah sang tentara. Lalu tentara itu mencambuk kepala Ibrahim bin Adham hingga kepalanya berdarah. Lantas ia membawa Ibrahim ke negerinya. Di sana, sang tentara disambut oleh teman-temannya. Mereka bertanya, “Ada apa?” Sang tentara lalu menceritakan kepada mereka apa yang telah terjadi. Mereka pun memberitahukan, “Ini adalah Ibrahim bin Adham.” Sang tentara itu lantas buru-buru turun dari kudanya, lalu mencium kedua tangan dan kaki Ibrahim, seraya meminta maaf. Setelah itu ditanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa Anda katakan kepadanya bahwa Anda seorang hamba sahaya?” Ibrahim menjawab, “Dia tidak menanyakan kepadaku, hamba siapakah aku. Dia hanya menanyakan, apakah aku hamba. Maka aku pun mengiyakan karena aku memang hamba Allah. Ketika ia memukul kepalaku, aku memohon kepada Allah surga untuknya.” Lalu ditanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa Anda mintakan surga untuknya, padahal dia menzalimimu?” Ibrahim menjawab, “Karena aku tahu bahwa aku mendapatkan pahala atas apa yang ia lakukan terhadapku. Aku tidak ingin diriku mendapatkan pahala karena dia, sementara pada saat yang sama dia mendapatkan dosa karena (menyakiti) aku.”
Sahal At-Tustari pernah ditanya tentang budi pekerti yang baik. Ia menjawab, “Setidaknya, budi pekerti yang baik adalah bersikap tegar dalam menghadapi perlakuan buruk, tidak mengharap balasan atas kebaikan, serta mengasihi orang yang berbuat zalim dan memintakan ampun untuknya.”
Diriwayatkan bahwa jika Uwais Al-Qarni terlihat oleh anak-anak kecil, ia akan dilempari dengan bebatuan oleh mereka. Jika sudah demikian, ia akan berkata kepada mereka, “Wahai saudara-saudaraku. Jika kalian memang harus melempariku, lempari aku dengan bebatuan kecil saja, jangan lukai betisku hingga mencegahku untuk melaksanakan shalat.”
Seorang lelaki mencaci maki Ahnaf bin Qais, tetapi Ahnaf tidak menggubrisnya. Lelaki itu pun membuntuti Ahnaf. Ketika sudah dekat dengan perkampungan, Ahnaf berhenti. Kepada lelaki itu ia berkata, “Jika di hatimu masih ada hal yang ingin kausampaikan, katakan saja di sini agar orang-orang bodoh dari kampung di depan tidak mendengar caci makimu. Jika sampai mendengarnya, mereka bisa menyakitimu.”
Dikisahkan bahwa Sayyidina Ali—semoga Allah memuliakannya— memanggil budak lelakinya, tetapi budak itu tidak menghiraukan.
Sayyidina Ali pun menyerunya hingga tiga kali, tetapi tetap saja budak itu mengabaikan. Maka bangkitlah Sayyidina Ali mendatanginya. Ternyata budak itu sedang berbaring. Sayyidina Ali bertanya, “Tidakkah kaudengar seruanku?” Si budak menjawab, “Ya, aku mendengarnya.” Sayyidina Ali kembali bertanya, “Lalu apa sebabnya engkau tidak menjawab panggilanku?” Si budak menjawab, “Saya tidak takut akan Anda hukum. Karenanya, saya malas menjawab seruan Anda.” Lalu berkatalah Sayyidina Ali, “Pergilah. Engkau sekarang merdeka karena Allah.”
Seorang perempuan memanggil Malik bin Dinar dengan seruan, “Wahai tukang pamer.” Malik bin Dinar membalas, “Hai perempuan. Sungguh engkau telah mengetahui namaku, padahal penduduk Basrah tidak mengetahuinya.”
Dikisahkan bahwa Yahya bin Ziyad mempunyai seorang budak yang buruk perangainya. Lalu ia ditanya, “Mengapa tidak kaulepaskan saja budakmu itu?” Yahya menjawab, “Agar aku bisa belajar bersikap sabar darinya.”
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz