Penjelasan Mengenai Budi Pekerti yang Baik
Kata khuluq (budi pekerti) dan khalq (bentuk tubuh) bisa digunakan secara bersamaan. Misalnya, hasana al-khuluqu wa al-khalqu. Artinya, sisi batiniah dan lahiriahnya baik. Jadi, yang dimaksud dengan khalq adalah tubuh yang kasatmata, sedangkan khuluq adalah sisi batiniah seseorang. Dengan kata lain, budi pekerti adalah suatu sifat yang sudah menancap kuat pada jiwa seseorang, yang darinya timbul berbagai perilaku dengan mudah. Jika yang muncul adalah perilaku-perilaku yang baik, sifat itu dinamakan budi pekerti yang baik. Jika yang lahir adalah perilaku-perilaku yang buruk, sifat itu dinamakan budi pekerti yang buruk.
Ada empat hal yang terkait dengan budi pekerti, yaitu [1] perilaku baik dan buruk, [2] kekuatan untuk melakukan perilaku baik atau buruk, [3] pengetahuan tentang dua jenis perilaku tersebut, dan [4] kondisi kejiwaan yang mengarah pada salah satu di antara dua budi pekerti tersebut. Yang dinamakan budi pekerti tidaklah terbatas pada perilaku itu sendiri. Bisa jadi seseorang berperilaku dermawan, tetapi faktanya ia tidak mau bersedekah saat sedang dihinggapi kemiskinan atau ada halangan. Budi pekerti adalah unsur yang keempat yang tersebut di atas. Budi pekerti adalah kondisi pada jiwa seseorang, yang karena kondisi itu ia siap melahirkan perbuatan. Dengan kata lain, budi pekerti merupakan keadaan pada jiwa dan batiniah seseorang.
Bentuk lahiriah wajah seseorang tidak bisa dikatakan cantik, kecuali jika kedua mata, hidung, mulut, dan pipinya indah secara keseluruhan. Demikian pula kecantikan batin tidak bisa terwujud, kecuali jika empat unsur pada diri seseorang bersifat baik secara keseluruhan. Jika empat unsur itu baik, terwujudlah apa yang dinamakan budi pekerti yang baik. Empat unsur itu adalah ilmu, amarah, nafsu, dan keseimbangan di antara tiga unsur tersebut.
Ilmu bisa dikatakan baik jika ia mampu dengan mudah membedakan antara kejujuran dan kebohongan dalam ucapan, kebenaran dan kebatilan dalam keyakinan, serta kebaikan dan keburukan dalam perbuatan. Ilmu yang baik akan berbuah hikmah. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak (QS Al-Baqarah [2]: 269).
Amarah bisa dikatakan baik jika naik dan turunnya selaras dengan tuntutan hikmah. Begitu juga nafsu bisa dikatakan baik jika mengikuti bimbingan hikmah, yaitu petunjuk nalar dan syariat. Adapun yang dimaksud dengan keseimbangan di antara tiga unsur ialah terkendalinya nafsu dan amarah di bawah petunjuk nalar dan syariat.
Induk dari berbagai budi pekerti yang baik ada empat, yaitu hikmah, syaja’ah, ‘iffah, dan ‘adalah.
Dengan adanya keseimbangan dalam menggunakan kekuatan nalar, akan muncul kecakapan dalam mengorganisasi, kejernihan pikiran dan pandangan, intuisi yang benar, kecakapan dalam mengerjakan berbagai pekerjaan, dan kecerdasan dalam melihat berbagai rahasia hati. Namun jika nalar digunakan kelewat batas, akan timbul sifat kedurjanaan, kelicikan, kecurangan, dan kemunafikan. Adapun jika nalar diremehkan, akan lahir watak bebal, ketakutan untuk mencoba sesuatu, kedunguan, dan kerusakan nalar.
Dengan adanya syaja’ah, akan muncul sifat kemurahan hati, penolong, kesatria, rendah hati, ketegaran, kesabaran, keteguhan hati, pengendalian emosi, kehormatan diri, ketenangan diri, dan sebagainya. Namun jika syajd’ah tersebut melampaui batas, akan lahir sikap sembrono, pongah, tinggi hati, mudah marah, sombong, dan bangga diri. Adapun jika syaja’ah dikesampingkan, yang akan muncul | adalah kehinaan, kenistaan, ketakutan, kerendahan diri, dan rasa ; gentar dalam memperjuangkan hak.
Adapun dengan adanya ‘iffah, akan terlahir sifat kedermawanan, rasa malu, kesabaran, toleransi, qana ‘ah, wara’, kelembutan, keringanan tangan, kesantunan, dan kekayaan hati. Akan tetapi jika ‘iffah terlalu berlebihan atau diabaikan, yang akan lahir justru sifat tamak, rakus, tidak tahu malu, boros, kemubaziran, pelit, riya, dengki, melakukan hal-hal yang sia-sia, senang atas kesusahan dan kemiskinan orang lain, menghinakan diri di depan orang kaya, suka menghina orang miskin, dan sebagainya.
Dengan demikian, pangkal dari segala keluhuran budi pekerti adalah hikmah, syaja’ah, ‘iffah, dan ‘adalah. Adapun sifat-sifat yang lain merupakan cabang-cabangnya saja.
Tidak ada seorang pun yang berhasil mencapai kesempurnaan budi pekerti, yaitu keseimbangan dalam empat induk budi pekerti sebagaimana yang telah disebutkan, kecuali Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Adapun manusia selain beliau berbeda-beda derajat kedekatan mereka dengan budi pekerti beliau. Semakin dekat derajat budi pekerti seseorang dengan Rasulullah, berarti semakin dekat ia dengan Allah Swt.
Al-Quran telah memberi isyarat mengenai empat induk budi pekerti tersebut. Allah berfirman, Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka yang berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (QS Al-Hujurat [49]: 15). Keimanan kepada Allah dan Rasulullah tanpa keraguan adalah kekuatan keyakinan dan buah dari penalaran serta puncak dari kebijaksanaan. Perjuangan dengan harta benda merupakan sikap kedermawanan yang bersumber dari pengendalian terhadap kekuatan nafsu. Adapun jihad dengan jiwa merupakan sifat keberanian yang bertolak dari penggunaan kekuatan amarah secara seimbang dan sesuai dengan petunjuk nalar. Allah Swt. menggambarkan karakter para sahabat dengan firman-Nya, (Orang-orang yang bersama Nabi) bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan penuh kasih kepada sesama mereka (QS Al-Fath [48]: 29). Dengan maksud memberikan isyarat bahwa sikap keras ada tempatnya dan sikap lembut pun ada tempatnya tersendiri.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz