Sekarang kita kembali kepada pokok bahasan kita, yaitu penjelasan bahwa tobat dengan tiga bagiannya, yaitu pengetahuan, penyesalan dan tindakan meninggalkan, hukumnya adalah wajib dilaksanakan segera. Pengetahuan tentang akibat buruk yang ditimbulkan dosa akan mendorong seseorang untuk meninggalkan dosa itu. Dan ini biasa dilakukan oleh seorang yang cerdas. Akan tetapi akal manusia dirasuki banyak pikiran. Awal perkembangan akal dimulai dari usia tamyiz. Mulai saat itu ia senang makan, minum dan memenuhi berbagai keinginan nafsunya. Perkembangan akal ini akan semakin pesat ketika mendekati usia baligh dan akan semakin sempurna saat usia memasuki empat puluh tahunan. Jika selama itu ternyata berbagai jenis syahwat dan ketergantungan kepada makhluk telah mengalami kematangan, sebelum terjadinya kematangan akal, berarti prajurit setan telah lebih dahulu menempati posisinya dan menguasai medan, sehingga hati merasa akrab dengannya dan dengan berbagai tuntutan syahwat.
Jika sudah demikian, tentu sulit untuk melepaskan diri darinya. Kemudian setelah itu secara berangsur-angsur, akal yang menjadi tulang punggung pasukan dan prajurit Allah, serta pembela para kekasih-Nya dari ancaman musuh-musuh, sedikit demi sedikit mulai memperlihatkan kematangannya. Bila akal tidak sampai menguat, dan tidak dapat mencapai tingkat kesempurnaannya, niscaya ia akan menyerahkan kerajaan hati kepada setan. Lalu, secara pasti, musuh terkutuk ini pun akan menepati janjinya yang telah diikrarkannya saat dia mengucapkan:
لأحتنكن ذريته إلا قليلا .62
Niscaya benar-benar akan Aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil”. (AI-Isra , 17:62)
Akan tetapi, bila akal ini berhasil mencapai tingkat kematangan yang sempurna, dan menjadi kuat, maka tugas pertama yang akan dilaksanakannya adalah menundukkan prajurit setan dengan cara memecahkan konsentrasi syahwat, menjauhi kebiasaan buruk dan mengembalikan tabiat secara paksa kepada ibadah. Dan inilah arti tobat yang sebenarnya, yaitu tindakan kembali dari suatu jalan yang pemandunya adalah syahwat dan pengawalnya adalah setan, kepada jalan Allah Ta’ala.
Barang siapa melakukan perbuatan dosa, maka ia kehilangan salah satu bagian imannya. Sebab, pengetahuan tentang akibat buruk dosa merupakan bagian daripada iman, sehingga seseorang yang tidak meninggalkan dosa, ia kehilangan salah satu bagian imannya. Karena itulah dalam sebuah Hadis Rasulullah saw bersabda:
لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن ولا يشرب الخمر حين يشرب وهو مؤمن ولا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤ من
“Seseorang yang berzina tidaklah dia beriman pada saat melakukan perzinaan itu dan seseorang yang minum khamr tidaklah dia beriman saat meminumnya, serta seseorang yang mencuri tidaklah dia beriman saat melakukan pencurian tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud tidak beriman (lenyapnya iman) dalam Hadis di atas adalah lenyapnya keyakinan bahwa maksiat tersebut telah menjauhkannya dari Allah dan mendatangkan murka Allah. Jika ia beriman (meyakini) bahwa dosa akan menjauhkannya dari Allah, maka ia tidak akan pernah mau menjadi jauh dari Allah, dan ia tidak akan berbuat dosa. Akan tetapi, imannya (keyakinannya) bahwa dosa menjauhkannya dari Allah lenyap dari dirinya. Jika imannya ini tidak segera kembali, maka ia tidak akan bertobat kepada Allah. Ia akan menjadi jauh dan dimurkai oleh-Nya. Ia adalah seperti seseorang yang diberitahu oleh seorang dokter, “Ini racun, jangan dimakan.” Jika kemudian ia tetap memakan racun itu, berarti ia tidak mempercayainya. Yang dimaksud dengan tidak mempercayainya adalah bukannya ia tidak mempercayai sang dokter dengan segala keahliannya, akan tetapi ia tidak mempercayai ucapan sang dokter yang menyatakan bahwa benda tadi adalah racun yang membahayakan. Perbuatannya memakan racun itu membuktikan bahwa ia mendustakan sang dokter. Ketika ia memakan racun tersebut, kepercayaannya kepada ucapan sang dokter lenyap.
Sumber: Obat Hati 1 Saduran Ceramah Al Habib Umar bin Hafidz