Perhatikanlah keadaan orang-orang yang di antara makhluk Allah mereka paling mengenal Allah, paling mengenal jalan menuju kepada-Nya, paling mengetahui pencana-Nya, dan sadar akan ketidaktahuan manusia tentang-Nya. Dan satu kalipun jangan pernah dirimu terpedaya oleh keindahan perhiasan dunia. Berhati-tilah jangan sampai engkau tertipu oleh setan yang menjerumuskan manusia.
Inilah beberapa rahasia yang barang siapa menghirup haruman aromanya, niscaya akan mengetahui bahwa taubat nashuha (yang tulus) adalah wajib bagi setiap hamba yang sedang menempuh jalan menuju Allah Ta’ala, dalam setiap tarikan dan hembusan napasnya meskipun umurnya sepanjang usia Nabi Nuh ‘alaihissalam. Meskipun ia memiliki usia seperti Nabi Nuh ‘alaihissalam yang ia gunakan untuk beribadah dengan sungguh-sungguh kepada Allah, maka ia tetap membutuhkan tobat di dalam setiap tarikan dan hembusan napasnya.
Duhai Allah, masukkanlah kami dalam kelompok orang-orang yang suka bertobat, suka mensucikan diri dan kelompok kaum sholihin.
Benarlah kiranya Abu Sulaiman Ad-Darani rahimahullah saat dia berkata:
“Seandainya dalam sisa umurnya, seorang yang berakal hanya menangisi masa-masa lalu yang dilewatkannya tanpa ketaatan, maka hal itu pantas untuk membuatnya sedih sampai akhir hayatnya. Lalu bagaimana dengan seseorang yang menyambut sisa umurnya dengan senantiasa melakukan kebodohan seperti masa lalunya?!”
Imamul Haddad rahimahullah berkata:
Air mataku mengalir deras
Dan mengapa aku tidak menangisi
kebaikan yang terlewatkan
menangisi umur yang berlalu dan hampir habis
yang digunakan untuk memenuhi
angan-angan penuh tipuan
dan berbagai perbuatan nan membinasakan
melewati hari-hari yang penuh bahaya
dan kini aku tergadai
oleh perbuatan buruk yang kulakukan
Aku menangisi usia yang tertipu
oleh gemerlap kehidupan ketika ia meniupkan
angan-angan kosong dan janji-janji palsu
Aku menangisi waktu-waktu berharga Yang tertipu dengan perdagangan merugikan
Yaitu waktu yang digunakan hanya untuk kelalaian dan permainan
Aku menangisi napas yang kugunakan
Untuk perbuatan tak berguna dan tak bermanfaat
Bukan untuk menuntut ilmu wajib maupun sunah
Aku menangisi waktu-waktu yang berlalu Bukan dalam kebenaran
Aku menangisi berbagai kesempatan
Seandainya kumanfaatkan
tentu akan kugapai semua harapan terbaik
Dan juga saat-saat yang dianjurkan untuk diisi kebaikan Namun ia berlalu sia-sia begitu saja
Aku menangisi buku catatan amal
yang penuh dengan dosa, kesalahan dan aib
……… dan seterusnya hingga beliau berkata12:
Seandainya aku menangis
Hingga air mataku berubah menjadi darah
Atas segala kebaikan yang terlewatkan olehku
Duhai orang yang mencela tangisanku
Maka tangisan itu tiada artinya
Dan tidak akan mampu mengembalikan
Segala kebaikan yang telah terlewatkan
Dahulu Habib ‘Alwi bin ‘AbdulIah bin Syihab, jika menyebutkan bait-bait syair di atas, beliau berkata, “Kebaikan apa yang terlewatkan oleh Imamul Haddad? Kitalah yang seharusnya menangis. Begitu banyak kebaikan yang terlewatkan oleh kita.” Beliau pun menangis terisak-isak hingga memerah wajahnya.
Imamul Haddad rahimahullah berkata, “Yang mengetahui nilai ucapanku (syairku) hanyalah orang-orang yang telah berada di alam barzakh.” Empat puluh atau lima puluh tahun yang lalu, orang-orang yang berilmu banyak menghapalkan syair-syair Islami dan mereka saling bertukar syair. Di masa itu, ada seorang ulama kota Baidhah yang banyak menghapal syair meninggal dunia. Salah seorang kerabatnya bermimpi bertemu dengannya dan ia pun membacakan kepada ulama tersebut beberapa bait syair yang dahulu biasa dibaca semasa hidupnya. Ulama itu pun berkata kepadanya:
“Jangan bacakan bait syair ini, tapi coba engkau bacakan beberapa bait syair Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi Al-Haddad.”
Ia pun bertanya-tanya, siapakah Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi Al-Haddad ini? Ia kemudian bertanya kepada Habib Muhammad Al-Haddar:
“Apakah engkau mengenal seseorang yang bernama ‘Abdullah bin ‘Alwi Al-Haddad?”
“Ya, beliau seorang ulama besar. Beliau seorang ahlil bait (keturunan Nabi saw),” jawabnya.
“Oh ya…Apakah beliau menyusun beberapa bait syair?”
“Tentu, bahkan beliau memiliki satu buku tebal yang berisi kumpulan syair-syairnya.”
“Tolong pinjamkan kepadaku buku itu.”
“Untuk apa?”
“Aku bermimpi bertemu dengan saudaraku yang belum lama meninggal dunia dan ia memintaku untuk membacakan beberapa bait syair Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi Al-Haddad tersebut,” jawabnya.
Perhatikanlah, orang-orang yang telah berada di barzakh lebih mengerti nilai ucapan Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi Al-Haddad daripada kita, sebagaimana yang telah beliau sampaikan di atas. Beliau yang seperti ini menyatakan bahwa andaikata beliau menangis hingga air matanya berubah menjadi darah, maka itu belum seberapa, jika mengingat berbagai kebaikan yang terlewatkan olehnya.
Hati orang-orang yang mulia tersebut menangis karena takut kepada Allah. Demi Allah, kehidupan yang sejati adalah kehidupan mereka. Adapun umat manusia yang hidup di zaman ini, mereka telah menghapuskan sisi kemanusiaannya. Mereka melupakan sesuatu yang menjadikan diri mereka mulia. Kehidupan mereka mirip dengan kehidupan binatang, bahkan binatang sekalipun lebih baik dari mereka. Begitu pula dengan tetumbuhan. Mereka telah melupakan sisi kemanusiaan mereka sendiri. Ucapan mereka tidak memiliki arti. Manusia telah menghapuskan kemanusiaannya dan berubah menjadi seperti kera dan bahkan kera pun lebih baik dari mereka. Kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan kaum sholihin tersebut. Mereka menangis karena takut kepada Allah sedangkan ibadah mereka banyak.
Abu Sulaiman Ad-Darani rahimahullah menyampaikan ucapannya di atas tiada lain adalah karena orang yang berakal jika ia memiliki permata yang berharga, lalu tiba-tiba permata itu hilang sebelum sempat memanfaatnya, pastilah dia akan menangisinya. Dan jika ternyata hilangnya permata itu akan menjadi penyebab kehancurannya, maka tangisannya akan lebih hebat lagi. Sedangkan setiap tarikan dan hembusan napas merupakan permata berharga yang dapat menyampaikanmu kepada kebahagiaan abadi. Jika napas itu engkau sia-siakan, tentu engkau akan mengalami kerugian yang nyata dan jika engkau gunakan dalam kemaksiatan, maka engkau akan mengalami bencana yang terburuk.
Seseorang yang menunda-nunda tobat sesungguhnya dia berada di antara dua hal yang sangat membahayakan. Pertama, kegelapan maksiat akan terus menumpuk di dalam hatinya hingga membuat hatinya menjadi keras dan tertutup serta tidak diterima oleh Allah. Kedua, bila ia dikejutkan oleh sakit atau kematian, tentu ia tidak sempat menghapus dosa-dosanya. Sesungguhnya menunda-nunda sesuatu merupakan penyebab kebinasaan seseorang. Ia menunda-nunda tobatnya dari hari ke hari hingga hari berubah menjadi tahun.
Duhai orang yang malas, sampai kapan akan kau tunda tobatmu? Apakah engkau yakin dunia ini akan abadi untuk seseorang atau seseorang akan hidup selamanya di dunia ini? Duhai Allah, duhai Maha Raja, jagalah usia kami, sehingga ketika usia kami berakhir nanti, kami dapat meninggal dalam Agama Islam. Selama ini Engkau telah bermurah kepada kami, dan rasanya tidak mungkin setelah segala kemurahan-Mu itu akan Engkau lemparkan kami ke dalam Neraka yang membara.
Sumber : Obat Hati 1 Saduran Ceramah Al Habib Umar bin Hafidz