Ketahuilah, sesungguhnya wajib itu memikiki dua pengertian. Pertama, pengertian yang masuk dalam lingkup fatwa syariat dan berlaku bagi seluruh makhluk. Kedua, kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan sebagai syarat untuk sampai pada tingkat kedekatan yang diidam-idamkan di sisi Allah. Seperti dikatakan bahwa bersuci itu wajib dilakukan dalam melaksanakan shalat sunah, yakni bagi siapa yang ingin mekakukan shalat sunah. Sebab, shalat sunah tersebut tidak akan dapat dilakukan tanpa bersuci. Seseorang yang merasa puas dengan kekurangan dan rela tidak memperoleh keutamaan shalat sunah, maka ia tidak wajib bersuci. Demikian juga seperti dikatakan bahwa mata, telinga, tangan dan kaki adalah syarat bagi keberadaan manusia. Yakni merupakan syarat bagi orang yang hendak menjadi manusia yang sempurna (seutuhnya) dan ingin memanfaatkan kemanusiaannya untuk sampai kepada derajat yang tinggi. Adapun bagi orang-orang yang sudah merasa cukup puas dengan memiliki nyawa untuk hidup, dan menerima keadaan dirinya seperti daging yang diletakkan di papan untuk dipotong-potong, atau seperti sobekan kain yang terbuang, maka untuk model kehidupan seperti ini tidak perlu disyaratkan harus ada mata, telinga, tangan dan kaki.
Coba perhatikan, apa yang dilakukan oleh Nabi saw ketika pakaian bergambar yang beliau kenakan mengganggu shalatnya? Selepas shalat beliau segera melepas pakaiannya dan berkata:
اذهبوا بخميصتي هذه الى ابي جهم وأتوني بأنبجانية ابي جهم فإنها الهتني ىنفا عن صلاتي
“Berikan pakaian bersulamku ini kepada Abi Jahm dan bawakan pakaian kasarnya yang tidak bersulam untukku, sebab, baju ini tadi mengganggu sholatku” (HR Bukhari)
Mengapa beliau saw melakukan hal tersebut? Bukankah hal itu tidak diwajibkan di dalam syariat beliau saw?
Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu memiliki seorang budak yang biasa membawakan makanan untuknya. Suatu malam, budak itu membawakan segelas susu dan beliau meminumnya beberapa teguk saja. Si budak pun berkata:
“Biasanya setiap kali kubawakan makanan engkau bertanya dari mana kuperoleh makanan itu. akan tetapi mengapa malam ini engkau langsung memakannya dan tidak menanyakan asalnya?”
“Aku sudah sangat lapar, dari mana kau peroleh susu tadi?”
“Dahulu, semasa jahiliah (sebelum memeluk Islam), aku pernah melewati sekelompok orang dan aku menjampi-jampi mereka. Mereka berjanji akan memberiku hadiah kelak. Malam ini aku melewati mereka saat mereka sedang melangsungkan pesta perkawinan. Mereka kemudian memberiku susu ini.”
“Oh.kau hampi-hampir membinasakanku.”
Beliau segera memasukkan jari-jemarinya ke dalam rongga mulut dan sekuat tenaga berusaha memuntahkan susu yang berada di dalam perutnya itu. Hal ini berulang kali beliau lakukan hingga hampir-hampir ruhnya melayang karenanya.
Perhatikan apa yang dilakukan oleh Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mengetahui bahwa susu yang beliau minum diperoleh dengan cara yang tidak benar? Dengan sekuat tenaga beliau berusaha memuntahkan isi perutnya agar susu itu keluar dari tubuhnya hingga hampir hampir nyawanya ikut melayang. Padahal beliau mengetahui bahwa barang siapa tanpa sepengetahuan dirinya memakan makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak benar, maka dia tidaklah berdosa dan tidak diwajibkan untuk memuntahkannya kembali. Lalu mengapa beliau bertobat dari meminum susu itu dengan memuntahkannya kembali sekuat tenaga? Beliau melakukan hal itu karena di dalam hatinya menetap sebuah rahasia yang mengajarkan bahwa fatwa yang berlaku bagi masyarakat umum itu merupakan suatu hal sementara bahaya yang menghadang di jalan menuju Akhirat hanya diketahui oleh orang-orang yang tulus imannya.
Para tetangga yang berdatangan karena mendengar suara beliau memuntahkan susu itu pun bertanya, “Apa yang terjadi duhai mertua Nabi saw?”
“Aku berusaha memuntahkan susu yang masuk ke dalam perutku.”
“Engkau seperti ini hanya karena beberapa teguk susu itu?”
“Seandainya nyawaku harus melayang demi memuntahkan susu itu, maka aku akan melakukannya. Sebab, aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda:
كل جسد نبت من سحت فالنار اولى به
”Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram, maka Neraka lebih pantas baginya.” (HR Baihaqi)
Aku khawatir susu itu akan menjadi sebuah daging dalam tubuhku, sehingga aku akhirnya lebih pantas masuk Neraka,” ujar Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Setelah susu itu keluar dari tubuhnya, beliau duduk dan beristighfar memohon ampun kepada Allah. Demikianlah wara’ beliau. Kendati perbuatan semacam ini tidak diwajibkan bagi masyarakat umum, akan tetapi bagi beliau hal tersebut adalah wajib. Inilah pengertian wajib yang kami maksud.
Sumber: Obat Hati 1 Saduran Ceramah Al Habib Umar bin Hafidz