Ada empat kemungkinan sikap manusia dalam menanggapi orang yang memuji dan mencelanya.
Pertama, ia menyukai pujian, berterima kasih kepada orang yang memuji, marah atas celaan, dan mendendam orang yang mencela. Beginilah sikap kebanyakan manusia dan inilah derajat kemaksiatan yang paling bawah.
Kedua, ia memendam kebencian kepada pencela di dalam hati, dan bisa menahan mulut dan anggota badannya. la pun memendam kesenangan kepada orang yang memujinya, tetapi mampu menjaga diri untuk tidak menampakkannya. Sikap ini termasuk sikap yang kurang sempurna, tetapi lebih baik daripada sikap yang pertama.
Ketiga, baginya orang yang memuji dan mencela sama kedudukannya. Inilah sikap yang sempurna. Namun apabila ia menganggap diri sudah mencapai derajat ini, sesungguhnya ia telah teperdaya.
Ciri-ciri orang yang berada pada derajat ini ialah:
(1) ia tidak merasa lebih berat untuk duduk berlama-lama dengan pencelanya daripada bersama pemujinya;
(2) ia tidak menjadi lebih bersemangat untuk memenuhi kebutuhan orang yang memujinya daripada orang yang mencelanya;
(3) ketidakhadiran orang yang mencelanya di majelisnya tidak lebih ringan baginya daripada ketidakhadiran orang yang memujinya;
(4) meninggalnya orang yang biasa memujinya tidak meninggalkan kepedihan yang lebih dalam daripada meninggalnya orang yang biasa mencelanya;
(5) kesedihannya atas musibah yang menimpa pemujinya tidak lebih besar daripada kesedihannya atas musibah bagi pencelanya;
(6) kesalahan pemujinya tidak menjadi lebih ringan baginya daripada kesalahan pencelanya.
Betapa jauh dan sulitnya berlaku seperti itu bagi hati. Kebanyakan hamba menyembunyikan kesenangan di dalam hatinya atas pujian yang diterimanya, tetapi mereka tidak menyadari. Barangkali setan telah mengarahkan kecenderungan hatinya kepada orang yang memuji dan ia membisikkan, “Sesungguhnya orang yang mencela telah bermaksiat kepada Allah dengan celaannya dan orang yang memuji telah menaati-Nya dengan pujiannya. Karena itu, ketidaksukaanmu kepada pencela merupakan ketaatan kepada agama” Di sinitah sesungguhnya letak pengelabuan yang dilakukan setan. jika seorang hamba mau berpikir, tentu ia tahu bahwa di dunia ini ada orang lain yang telah melakukan dosa yang lebih besar daripada pencela tersebut. Namun, ternyata ia tidak merasa tidak suka kepada pendosa besar itu dan tidak menjauh darinya. Dengan demikian, seoranghamba yang teperdaya marah kepada pencela demi dirinya sendiri dan memendam kebencian kepadanya karena nafsunya; dan pada saat yang sama setan mengelabui seolah-olah itu adalah bentuk ketaatan dalam beragama. Maka barangsiapa tidak mengetahui pintu-pintu tipu daya setan dan penyakit-penyakit jiwa, sebagian besar ibadahnya hanya lelah yang sia-sia.
Keempat, jujur dalam beribadah, yaitu ia tidak menyukai pujian dan membenci orang yang memuji. Sebab, pujian adalah musibah yang bisa menghancurkannya. la pun menyukai orang yang mencela karena pencela menunjukkan kepadanya aib dirinya, menunjukkan hal penting yang harus dilakukannya, dan memberikan hadiah pahala kepadanya.
Kebanyakan manusia mengambil sikap yang kedua, yaitu menyembunyikan perasaan senang kepada pemuji dan perasaan benci kepada pencela. Dan sikap ini tidak bisa terlihat dari ucapan dan perbuatan jika kita menuntut diri kita untuk mencari tahu tanda sifat ini, kita kesulitan untuk menguraikannya. Namun, ciri-ciri orang seperti ini ialah ia akan cepat-cepat dalam memuliakan dan membantu orang yang memujinya dan merasa berat untuk memuliakan, memuji dan memenuhi kebutuhan orang yang mencelanya.
Barangsiapa sanggup menyamakan sikap dan perilaku secara lahiriah terhadap orang yang memuji dan mencela maka jika ada, ia pantas menjadi panutan pada zaman sekarang ini. Sesungguhnya ia laksana belerang merah (sangat jarang. Penerjemah).
Terkait dengan pujian, setiap orang mempunyai derajat yang berbeda-beda. Ada orang yang menginginkan pujian, sanjungan, dan ketenaran. Lalu ia melakukan segala cara, termasuk dengan berlaku riya dalam beribadah, guna mendapatkan keinginannya tersebut. la pun tidak takut lagi melakukan perbuatan dosa demi mendapatkan kedudukan di hati manusia. Orang-orang seperti ini termasuk orang-orang yang celaka.
Ada pula orang yang menginginkan pujian, sanjungan, dan ketenaran, tetapi ia mencapainya dengan perkara-perkara yang dibolehkan (mubah), tidak dengan perbuatan ibadah, dan tidak pula dengan perbuatan yang dilarang. Orang seperti ini berada di pinggir jurang kehancuran.
Ada pula orang yang tidak menginginkan pujian dan tidak pula berusaha mendapatkannya. Namun, apabila dipuji, hatinya menjadi senang. Apabila ia tidak berupaya bersungguh-sungguh untuk menghilangkan kesenangannya atas pujian maka kegembiraan yang berlebihan atas pujian itu bisa menjerumuskannya pada kedudukan sebelumnya. Namun apabila ia sudah berupaya, bisa jadi ia menang dan bisa pula ia kalah dalam usahanya menghilangkan kesenangannya atas pujian.
Ada pula orang yang apabila mendengar pujian terhadapnya, ia tidak menjadi senang dan tidak terpengaruh. Orang seperti ini berada dalam kebaikan. Ada pula orang yang tidak senang bila mendengar dirinya dipuji, tetapi ia tidak marah kepada pemujinya.
Derajat yang paling tinggi adalah apabila seseorang tidak suka dipuji dan marah kepada pemujinya secara jujur. Secara jujur artinya, ucapan dan hatinya selaras, bukan mulutnya marah tetapi hatinya senang. Ketidakselarasan antara mulut dan hati tersebut merupakan sumber kemunafikan.
Adapun terkait dengan celaan, tingkatan derajat manusia merupakan kebalikan dari derajat manusia terkait dengan pujian. Derajat yang paling rendah adalah menampakkan kemarahan kepada pencela, sedangkan derajat yang paling tinggi adalah menampakkan kegembiraan atas celaan yang diterimanya. Derajat yang paling tinggi ini hanya bisa diperoleh oleh orang yang membenci nafsu karena pembangkangan dan pemalsuannya dan menempatkannya sebagai musuh. Karena manusia pada dasarnya senang kepada orang yang mencela musuhnya maka ia pun senang jika mendengar ada orang yang mencela nafsu jiwanya. la pun berterima kasih kepada sang pencela dan menilainya cerdas karena bisa mengetahui aib dan keburukan jiwanya. Seandainya semua murid (penempuh jalan menuju Allah) berupaya dengan sungguh-sungguh sepanjang hayatnya agar pujian dan celaan menjadi sama baginya, niscaya itu akan menjadi kesibukan yang sangat besar baginya.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz