OLEH karena itu, terdapat pola sikap yang dicontohkan oleh para junjungan kita, para Sahabat, dalam tatakrama mereka kepada Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم. Sikap hormat mereka kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم sangatlah tinggi, sampai membuat orang-orang kafir menjadi takjub. Urwah bin Mas’ud berkata, “Demi Allah, aku telah datang sebagai duta kepada Kisra (Raja Persia) di istananya, Kaisar (Raja Romawi) di istananya, juga Najasyi (Raja Abbesinia) di istananya, tapi aku tidak pernah melihat seseorang yang menghormati orang lain sebagaimana para Sahabat Muhammad menghormati Muhammad.” (HR Ahmad dan ath-Thabarani).
Namun demikian, tidak ada seorang pun dari para Sahabat itu yang mengingkari status kemanusiaan beliau, tidak ada seorang pun yang menyandangkan status anak Tuhan kepada beliau, tidak ada seorang pun yang mengingkari status kehambaan beliau, di mana beliau صلى الله عليه وسلم berada di tingkat tertinggi dan puncak termulia dari status kehambaan itu. Begitu pula, pola pandang umat Islam setelah mereka.Mereka tidak mengenal pandangan yang melampaui batas, juga pandangan menghina dan merendahkan martabat orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah.
Para Sahabat duduk di samping Nabi صلى الله عليه وسلم seakan-akan di atas kepala mereka terdapat burung.Mereka berebut sisa air wudu beliau hingga nyaris bertengkar.Sampai-sampai Bilal pernah menampung sisa air wudu Rasulullah dalam sebuah wadah. Ketika Rasulullah telah selesai berwudu dan beliau pergi, maka para sahabat datang berdesakan untuk mendapatkan beberapa tetes air yang pernah menyentuh tubuh Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم. (HR al-Bukhari dalam Kitabul-Manaqib)
Mereka senantiasa melakukan hal itu. Dan, mereka memahami betul nilai-nilai kemoderatan yang membuat mereka dapat menegakkan hakikat dari syariat, dalam menghadapi perintah, larangan, ibadah, dalam berinteraksi dengan orang-orang munafik, orang kafir dzimmi (yang berada dalam perlindungan pemerintahan Islam), kafir harbi (musuh politik dan militer umat Islam), serta kafir yang sedang melakukan perjanjian damai dengan umat Islam.
Semua interaksi itu mereka lakukan dengan berlandaskan pendidikan Nabawiyah Muhammadiyah yang mereka dengarkan dan mereka saksikan pada diri Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم Sang Nabi Pilihan.
Terdapat beberapa fenomena mengenai hal itu. Di antaranya: sebagian Sahabat berpandangan agar Usamah bin Zaid digeser dari jabatan panglima perang yang telah ditetapkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم di akhir hayat beliau. Mereka berpandangan agar Usamah diganti dengan Sahabat lain, karena pasukan yang ia pimpin akan menerjuni medan perang yang sangat sulit. Maka, pandangan moderat Abu Bakr muncul dan menegaskan kepada mereka: Aku telah belajar dari Rasulullah yang telah lama menjadi sahabatku sebelum dan sesudah turunnya wahyu sampai beliau menemui Tuhannya سبحانه وتعالى: bahwa aku harus senantiasa mengikutinya dan juga perintahnya, bukan hanya berdasarkan pikiran dan pandanganku mengenai berbagai hal.
Maka, ketika mereka meminta Abu Bakr untuk mengganti Usamah, Abu Bakr menyampaikan pandangan ini. Beliau menegaskan, “Apakah aku akan melepas bendera yang sudah diikatkan oleh Rasulullah dengan tangan beliau sendiri!? Tidak, demi Allah. Hal pertama yang akan aku lakukan dalam masa khilafahku adalah meneruskan pengiriman pasukan Usamah, setelah aku mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: Berangkatkan pasukan Usamah!” (HR Ibnu Asakir).
Abu Bakr begitu tegas dengan sikapnya yang menakjubkan dan memukau ini, sikap yang sangat jauh dari hawa nafsu, dari penggunaan pikiran di hadapan nas yang datang dari Rasulullah, juga penggunaan pikiran sebagai tangga untuk menerapkan nas.
Dalam kesempatan lain, para Sahabat mendesak Abu Bakr agar membiarkan orang-orang yang tidak mau memberikan zakat, tidak usah memerangi mereka, dan membiarkan mereka sampai selesainya peperangan melawan yang lain. Tapi, Abu Bakr berkata, “Tidak, demi Allah.Kalau mereka tidak mau memberikan kepadaku tali unta yang dulu mereka berikan kepada Rasulullah, aku pasti memerangi mereka dengan sungguh-sungguh karena hal itu. Agama akan digerogoti, sementara aku masih hidup, itu tidak boleh terjadi!”.(HR Muslim dalam Kitabul-Iman).
Namun demikian, sikap beliau yang sangat tegas ini, tidak membuat beliau menghalalkan kehormatan diri orang-orang yang enggan memberikan zakat itu.Beliau juga tidak menganggap mereka sebagai orang kafir dan tawanan. Tapi, beliau melaksanakan apa yang diperintahkan syariat mengenai mereka, sebagaimana diinginkan oleh Allah. Beliau mengeluarkan zakat dari mereka dengan prinsip keadilan yang sangat tinggi.
Sikap proporsional inilah yang membuat hati musuh-musuh Allah diresapi oleh rasa takut.Musuh-musuh Allah itu berkata, “Kalau mereka (orang-orang Islam) berada dalam keadaan lemah, tidak mungkin mereka memerangi kawan-kawannya yang tidak mau memberikan zakat.”
Hal ini merupakan salah satu faktor kemenangan umat Islam.
Sumber : Agama Moderat
Terj. Alwasathiyah fil-Islam
Karya Al Habib Umar bin Hafidz