IZIN HIJRAH KE MADINAH
Di dalam kitab ath-Thabaqat yang disusunnya, Ibnu Sa’d meriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah r.a sebagai berikut: Setelah 70 orang kaum anshor yang membaiat beliau kembali ke Madinah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pun mulai merasa tenang. Karena dengan demikian Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberikan benteng pelindung lengkap dengan satu kaum yang siap berperang dengan segala persenjataannya. Sementara itu, tekanan orang-orang musyrik juga semakin menguat, apalagi setelah mengetahui umat Islam berencana hijrah. Orang-orang musyrik terus mempersempit ruang gerak para sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan menimpakan kepada mereka berbagai macam siksaan. Para sahabat pun mengadukan hal itu kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, sekaligus memohon agar mereka diizinkan hijrah. Pada saat itulah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda,”Aku telah diberitahu tentang negeri tempat kalian berhijrah, yaitu Yatsrib. Jadi, barangsiapa yang ingin berhijrah, hendaklah ia pergi ke kota itu.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menyuruh para sahabat di Makkah ke Madinah untuk bergabung dengan Anshar. Beliau mewanti-wanti agar mereka meninggalkan Makkah dengan cara berhati-hati, tidak bergerombol-gerombol dan dengan cara menyelinap di waktu malam atau di siang hari, agar jangan sampai diketahui kaum musyrikin Quraisy sehingga mereka akan bergerak merintangi perjalanan. Atas dasar perintah beliau itu mereka berangkat ke Madinah di larut malam sunyi, ada yang secara perorangan dan ada pula yang berangkat bersama keluarga atau beberapa orang teman. Keberangkatan kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah bukanlah soal yang ringan dan mudah, karena kaum musyrikin Quraisy dengan berbagai cara tetap berusaha menghalangi dan mencegah. Mereka menghadapkan kaum Muhajirin kepada berbagai macam cobaan berat, tetapi hal itu tidak menggoyahkan niat mereka yang telah bertekad bulat hendak berhijrah ke Madinah. Tidak seorang pun dari mereka yang lebih suka tinggal di Makkah, semuanya tetap hendak berhijrah ke Madinah betapa pun besar risiko yang akan dihadapinya. Di antara mereka itu ada yang terpaksa berangkat seorang diri meninggalkan anak-istri di Makkah, seperti yang dilakukan oleh Abu Salamah. Ada pula yang terpaksa berangkat meninggalkan mata pencarian dan semua harta bendanya, seperti yang dilakukan oleh Shuhaib. Kesukaran dan penderitaan yang mereka alami selama dalam perjalanan hijrah ke Madinah dapat kita bayangkan dari peristiwa menyedihkan yang dialami keluarga Abu Salamah. Mengenai peristiwa itu Ummu Salamah menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Setelah Abu Salamah (suami Ummu Salamah) memutuskan kami sekeluarga harus berangkat hijrah ke Madinah, ia menyiapkan seekor unta yang akan mengangkutku dalam perjalanan. Aku dinaikkan ke atas punggung unta bersama anakku, Salamah, yang duduk di atas pangkuanku. Setelah semuanya siap suamiku mulai berjalan menuntun unta yang ku-tanggangi. Belum seberapa jauh kami berjalan, beberapa orang dari Bani Al-Mughirah melihat suamiku. Mereka bergerak mendekatinya, kemudian dengan gaya menantang mereka menggertak: “Hai Abu Salamah, mengenai dirimu kami tidak berhak campur tangan, tetapi mengenai istrimu kami tidak akan membiarkannya kau bawa pergi meninggalkan kampung halaman.”[1]Belum lagi suamiku sempat menjawab, mereka sudah merebut tali kekang unta dari tangannya, kemudian mereka membawaku ke tempat pemukiman mereka. Orang-orang Bani ‘Abdul-Asad (kabilah suamiku) naik darah ketika mendengar kejadian itu. Mereka mendatangi orang-orang Bani Al-Mughirah yang menahanku, lalu berkata: “Kalian telah merampas wanita itu dari suaminya dan menahannya. Sekarang kami datang untuk mengambil anaknya. Kami tidak akan membiarkan anak kerabat kami kalian tahan bersama ibunya!” Terjadilah percekcokan dan tarik-menarik memperebutkan anakku, Salamah. Hingga satu dari kedua tangan anakku terlepas dari sendinya dan pada akhirnya orang-orang Bani ‘Abdul-Asad berhasil merebut anakku dari tangan orang-orang Bani Mughirah. Anakku mereka bawa pergi dan aku tetap berada dalam tahanan Bani Al-Mughirah. Suamiku tetap melanjutkan perjalanan ke Madinah. Dengan demikian keluarga kami menjadi terpisah-pisah. Suamiku tetap berangkat ke Madinah, aku tetap dalam tahanan Bani Al-Mughirah dan anakku dibawa pergi oleh orang-orang Bani ‘Abdul-Asad. Tiap pagi aku keluar dari rumah, duduk di pinggir sahara sambil menangis. Demikianlah keadaanku sehari-hari selama kurang lebih satu tahun.
Pada suatu hari di saat aku sedang dalam keadaan seperti itu lewatlah di depanku seorang lelaki, saudara misanku dari Bani Al-Mughirah. Tampaknya ia merasa kasihan memikirkan kemalangan nasibku. Ia segera mendatangi orang-orang Bani Al-Mughirah yang menahanku, kemudian berkata: “Kenapa kalian tidak mau melepaskan perempuan yang malang itu? Ia kalian pisahkan dari anaknya dan dari suaminya. Pantaskah kalian berbuat seperti itu?”. Karena yang berkata seperti itu orang Bani Al-Mughirah sendiri, mereka menoleh kepadaku sambil berkata “Kalau engkau mau, pergilah menyusul suamimu!” Mereka melepaskan diriku dan pada hari itu juga orang-orang dari Bani ‘Abdul-Asad mengembalikan anakku. Aku lalu berangkat menunggang unta bersama anakku yang kududukkan di atas pangkuanku. Kutinggalkan pemukiman Bani Al-Mughitah dengan tujuan menyusul suamiku di Madinah. Tak seorang pun yang menemani diriku selain anakku yang masih kecil. Di tempat bernama “Tan’im” aku bertemu dengan ‘Utsman bin Abi Thalhah dari Bani ‘Abdud-Dar. Ia bertanya, ke mana aku hendak pergi. Kujawab, aku hendak menyusul suamiku di Madinah. Ia bertanya lagi, apakah tidak ada orang yang mengantarku dalam perjalanan sejauh itu. Kukatakan kepadanya, hanya Allah dan anakku saja yang menyertaiku. Ia kemudian berkata kepadaku, Demi Allah aku tidak akan membiarkanmu menempuh perjalanan sejauh itu seorang diri. Ia berkata demikian sambil memegang tali kekang untaku, kemudian berjalan cepat-cepat menuntunnya, membawaku meneruskan perjalanan. Demi Allah, aku belum pernah mempunyai sahabat yang lebih sopan daripada dia. Bila tiba di sebuah tempat persinggahan hendak beristirahat ia berhenti, dan setelah untaku berlutut ia mundur dan menjauh, dan setelah aku turun dan menjauh dari unta ia bergegas mengambil kekangan unta dan setelah itu ia menambat untaku pada sebatang pohon, lalu ia sendiri mencari pohon lainnya untuk berteduh dan berbaring di bawahnya. Apabila letihnya sudah hilang ia menghampiri untaku lalu didekatkan kepadaku. Pada saat untaku berlutut dan aku handak naik ke aras punggungnya, ia mundur agak jauh dan mempersilahkan aku naik. Ia tidak melangkah berjalan menuntun untaku sebelum melihatku duduk dengan baik di atas unta. Demikianlah yang dilakukannya berulang-ulang selama dalam perjalanan hingga tiba di dekat Quba. Beberapa saat ia mengarahkan pandangan matanya ke pedusunan kabilah Bani ‘Amr bin Auf di Quba, kemudian sekonyong-konyong berkata: “Suami Anda berada di pedusunan itu, silahkan Anda masuk ke sana. Semoga Allah memberkati pertemuan Anda!” Setelah itu ia langsung pulang kembali ke Makkah.
Ummu Salamah mengakhiri ceritanya dengan mengatakan: “Aku belum pernah melihat kemalangan menimpa keluarga Muslim, seperti kemalangan yang menimpa keluargaku. Dan aku pun belum pernah mempunyai sahabat yang lebih sopan dan lebih baik hatinya daripada ‘Utsman bin Thalhah “. Bentuk kesulitan lainnya yang dialami kaum Muhajirin di saat mereka berangkat meninggalkan Makkah menuju Madinah dapat dibayangkan pula dari peristiwa yang dialami oleh Shuhaib. Ketika ia berniat hendak pergi hijrah, kaum musyrikin Quraisy datang mengerumuninya untuk berusaha menghalangi dan mencegah keberangkatannya. Kepadanya mereka berkata dengan kasar: “Hai Shuhaib, engkau datang ke Makkah dalam keadaan melarat dan hina, kemudian di sini engkau menjadi kaya. Sekarang engkau hendak pergi membawa harta kekayaanmu meninggalkan kota ini. Demi Allah, itu tidak boleh terjadi!”
Shuhaib dapat memahami apa yang mereka maksud dengan kata-kata seperti itu. Karenanya ia menyahut: “Jika semua kekayaanku kuberikan kepada kalian apakah kalian mau membiarkan aku pergi?” Tanpa malu-malu mereka menjawab: “Ya tentu!” “Kalau begitu, baiklah, semua kekayaanku kuserahkan kepada kalian!” demikian kata Shuhaib. Setelah itu Shuhaib berangkat hijrah ke Madinah tanpa membawa harta kekayaan yang diperolehnya dengan susah payah selama tinggal di Makkah. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mendengar kejadian itu beliau berucap: “Transaksi yang menguntunkan wahai Aba Yahya (panggilan Shuhaib), transaksi yang menguntungkan!”
Berangkat pula para sahabat Nabi lainnya berhijrah ke Madinah. Di antaranya: ‘Umar Ibnul-Khathab, Thalhah bin Ubaidillah, Hamzah bin ‘Abdul-Muththalib, Zaid bin Haritsah, ‘Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Al-‘Aw-wam, Abu Hanifah, ‘Utsman bin ‘Affan-radhiyalahu’anhum-dan lain-lain. Sejak itu berturut-turut kaum Muslimin berangkat hijrah ke Madinah meninggalkan kampung halaman. Selain beberapa orang Muslim yang ditahan dan dianiaya oleh kaum musyrikin Quraisy, tak ada lagi sahabat Nabi yang tertinggal di Makkah kecuali ‘Ali bin Abi Thalib . dan Abubakar bin Abu Quhafah . Dua orang sahabat Nabi itu memang sengaja tetap tinggal sementara waktu di Makkah mendampingi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.
Sumber : “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” Karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi
[1]Mereka berkata demikian itu karena Ummu Salamah adalah seorang wanita dari Bani Al-. Mughirah!