Anda pasti tidak akan dapat menemukan sebuah gambaran yang tepat berkenaan dengan semesta, manusia, dan kehidupan ini, kecuali dalam akidah Islam. Anda juga tidak akan dapat menemukan aturan sosial-kemasyarakatan yang adil dan lurus, kecuali dalam aturan Islam. Oleh karena itu, salah satu dasar terpenting dalam dakwah Islam ialah pengorbanan dengan harta, wilayah kekuasaan, dan nyawa. Dengan melakukan itu, kaum muslimin akan mendapatkan kembali semua yang sudah mereka korbankan.
Anda tentu sudah sangat mengetahui bahwa hijrah pertama dalam Islam ini merupakan salah satu bentuk kesulitan yang harus dilewati di jalan agama. Hal itu dikarenakan pada dasarnya, hijrah para sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ini sama sekali bukan pelarian dari siksaan demi mencapai ketenangan. Hijrah ini merupakan upaya mengubah keadaan untuk menunggu datangnya kemenangan.
Anda tentu juga sudah sangat mengetahui bahwa pada saat peristiwa ini terjadi, Kota Mekah belum menjadi daerah kekuasaan Islam (dar al-islam). Jadi, Anda tidak dapat mengatakan, bagaimana mungkin para sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam itu meninggalkan daerah kekuasaan Islam (dar al-islam) demi mencari keselamatan di negeri kafir?
Pada saat itu, posisi Mekah, Ethiopia, dan daerah-daerah lainnya sama saja. Jadi, kota atau tempat mana pun yang dianggap paling aman bagi para sahabat untuk menjalankan ajaran agama dan berdakwah menjadi tempat yang paling baik untuk didiami.
Hijrah dari daerah kekuasaan Islam (dar al-islam) memiliki hukum yang beragam; wajib, boleh, dan haram.
Hijrah dari daerah kekuasaan Islam (dar al-islam) dihukumi wajib ketika umat Islam tidak dapat menemukan ketenangan dalam menjalankan syariat, seperti shalat, puasa, azan, dan haji.
Hijrah dari daerah kekuasaan Islam (dar al-islam) dihukumi boleh ketika umat Islam mengalami gangguan. Pada kondisi ini, umat Islam boleh meninggalkan negeri Islam (dar al-islam) untuk pindah ke negeri Islam lainnya.
Hijrah dari daerah kekuasaan Islam (dar al-slam) dihukumi haram jika dengan kepindahan itu, umat Islam justru tidak dapat menjalankan syariat dengan baik.
Kedua, dari hijrah pertama ini, kita dapat menemukan hakikat hubungan yang terjalin antara ajaran yang dibawa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan ajaran yang dibawa Nabi Isa as.
Pada saat itu, Raja Negus adalah seorang pemeluk ajaran yang dibawa Isa as. Penguasa Ethiopia itu adalah sosok yang sangat tulus dan lurus dalam menjalankan kenasraniannya. Disebabkan ketulusan itulah, Raja Negus tidak pernah merusak ajaran Nasrani yang dianutnya dengan melakukan penyimpangan. Raja Negus juga tidak pernah bersedia menolong siapa pun yang memiliki keyakinan yang menyimpang dari ajaran yang is anut yang semuanya termaktub di dalam Injil dan dibawa oleh Isa as.
Dengan kata lain, kalau memang yang dikatakan sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut Isa ibn Maryam as. dan pengikut ajaran Injil bahwa Isa adalah anak Allah sekaligus salah satu oknum Trinitas, tentulah Raja Negus akan mengikuti doktrin itu dengan penuh keyakinan. Jika benar demikian, Raja Negus pasti akan menyangkal ucapan Ja’far ibn Abu Thalib ra. Lebih dari itu, mereka akan diserahkan kepada utusan orang-orang Quraisy.
Akan tetapi, mendengar ayat AI-Qur’an yang berkenaan dengan kehidupan Isa ibn Maryam dibacakan, Raja Negus justru berkata, “Sungguh bacaan iru dan apa yang dibawa oleh Isa benar-benar keluar dari sumber yang sama.” Pemyataan itu is keluarkan di hadapan para pendeta dan agamawan yang ikut hadir kala itu.
Kejadian ini semakin menegaskan bahwa semua nabi dan rasul datang membawa akidah yang sama, tidak ada perbedaan satu sama lain. Peristiwa ini juga menegaskan bahwa perselisihan yang muncul di kalangan ahli kitab, benar-benar baru terjadi “Setelah datang pengetahuan kepada mereka disebabkan kedengikian antar mereka sendiri,” sebagaimana dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an (QS Ali Imran [3] : 19).
Ketiga, dalam keadaan terpaksa, kaum muslimin diperbolehkan meminta perlindungan kepada nonmuslim, baik dari kalangan ahli kitab, seperti Raja Negus’ maupun musyrik, seperti beberapa orang Quraisy yang menjamin keamanan beberapa sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam saat pulang dari Ethiopia kembali Mekah. Di antara mereka adalah Abu Thalib, paman Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, dan Muth’im ibn ‘Adi yang menjamin keselamatan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam setelah kembali dari Thaif.
Tentu saja semua itu boleh dilakukan jika perlindungan mereka tidak merusak atau membahayakan gerakan dakwah Islam, menggoyahkan atau mengubah hukum Islam, ataupun mengakibatkan dilanggarnya beberapa hal yang diharamkan Islam. Jika syarat ini tidak terpenuhi, umat Islam tidak boleh meminta perlindungan kepada pihak nonmuslim.
“Beberapa waktu kemudian, akhirnya Raja Negus (Najasyi) masuk Islam, kabar berlta tentang wafatnya raja bijak Ini sampai ketelinga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam beliau langsung mengajak para sahabat untuk melakukan salat gaib (Hadits tentang ini diriwayatkan oleh Imam Muslim)”
Salah satu dalil yang bisa dijadikan pijakan adalah ketika Abu Thalib meminta Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam untuk tidak berdakwah, memberi beban yang tidak sanggup dipikul (mengajak pamannya untuk memeluk dan untuk tidak lagi mencaci tuhan-tuhan yang disembah kaum musyrikin Quraisy. Mendengar permintaan sang paman, saat itu juga Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam langsung menyatakan keluar dari perlindungan Abu Thalib dan menolak berhenti menyampaikan dakwah Islam yang wajib beliau sampaikan.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi