Sebagaimana diketahui, tradisi saling melindungi yang sudah ada sejak zaman Jahiliyah (al-hamiyyah al-jahiliyyah) ini memang menekankan pentingnya membela keluarga dan kerabat tanpa memandang prinsip, bahkan tanpa memedulikan anggota keluarga yang dibela itu benar atau salah. Jadi, fanatisme yang ditunjukkan kedua pihak ini betul-betul fanatisme dalam arti yang sesungguhnya, bukan yang lain.
Dikatakan demikian, karena kendati mereka melindungi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dari kejahatan orang-orang musyrik, kedua pihak itu tetap memiliki dua sifat yang seolah saling bertolak belakang, yaitu kesombongan dan pembangkangan terhadap dakwah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, tetapi di sisi lain membela Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dari serangan orang-orang musyrik.
Jadi, untuk apa sebenarnya mereka membela Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam? Mereka ikut merasakan penderitaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan para sahabat, namun dalam menghadapi kaum Quraisy yang selalu memperlakukan umat Islam dengan buruk, orang-orang musyrik Bani Hasyim dan Bani Muthallib sebenarnya tidak pernah berharap perlakuan buruk itu akan mereka.
Jadi, sebenarnya yang paling penting untuk diketahui sekarang adalah bahwa perlindungan kerabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang masih kafir bukanlah perlindungan terhadap misi kerasulan yang diemban Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, melainkan sekadar menjaga kerabat mereka dari gangguan “orang luar’: Andaikata umat Islam menjadikan tradisi ini untuk menjadi jalan jihad dan perjuangan mengalahkan kaum musyrikin, maka hal itu tentu patut disyukuri.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi