Serangan dan Siksaan Kafir Quraisy Terhadap Rasulullah Bagian 2
Pelajaran dan bahan renungan
Hal pertama yang terbersit dalam benak semua orang ketika mengetahui kisah penyiksaan dan serangan orang-orang musyrik terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan para sahabat adalah sebentuk pertanyaan, mengapa Rasulullah dan para sahabat harus menghadapi penyiksaan? Bukankah mereka berada di jalan yang benar? Mengapa Allah Swt. tidak melindungi mereka? Bukankah mereka adalah para pembela agama-Nya? Bukankah mereka selalu menyeru kepada-Nya dan berjihad di jalan-Nya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Manusia memiliki sifat mukallaf Artinya, setiap manusia menang-gung berbagai macam “beban” dari Allah Swt. Bagi umat Islam, perintah Allah Swt. untuk berdakwah dan berjihad guna meninggikan kalimatullah merupakan taklif alias “beban” yang harus ditegakkan. Pemberian “beban” (taklif) ini merupakan salah satu konsekuensi penghambaan kepada Allah Swt. Hal ini disebabkan, jika tidak ada taldif, penghambaan diri kepada Allah Swt. akan kehilangan anti karena penghambaan manusia kepada Allah Swt. merupakan hal pokok bagi ketuhanan-Nya, keimanan terhadap ketuhanan Allah tidak akan berarti apa pun tanpa penghambaan manusia kepada-Nya.
Jadi, penghambaan manusia kepada Allah memiliki konsekuensi taklif (pemberian beban). Sementara itu, taklif memiliki konsekuensi kesediaan memikul kesulitan dan mujahadah yang dilakukan oleh jiwa dan hawa nafsu.
Oleh karena itu, semua hamba Allah di dunia ini wajib menerapkan dua hal berikut ini.
Pertama, berpegang teguh kepada ajaran Islam dan ikut berusaha membangun masyarakat yang benar-benar Islami.
Kedua, siap menghadapi berbagai kesulitan di jalan menuju Allah Swt. Selain itu, siap berkorban jiwa dan raga demi mewujudkan hal itu.
Dengan kata lain, Allah Swt. sudah “membebani” kita dengan keimanan yang memiliki tujuan tertentu, sebagaimana Dia juga “membebani” kita untuk menempuh jalan terjal dan panjang untuk mencapai tujuan tersebut.
Kalau saja mau, Allah pasti mampu membangun masyarakat Islam yang berdiri begitu saja setelah memenuhi keimanan. Akan tetapi, perjalanan mulus seperti itu tidak membuktikan tingkat penghambaan seorang pejalan (salik) di jalan Allah Swt, juga tidak membuktikan bahwa si salik benar-benar sudah “menjual” hidup dan hartanya kepada Allah Swt, sejak ia memproklamasikan keimanan kepada-Nya. Jalan mulus seperti itu juga tidak dapat membuktikan bahwa si salik benar-benar sudah mengarahkan segenap jiwa dan raganya ke jalan yang sesuai dengan ajaran Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Di jalan yang penuh onak dan duri inilah akan tampak dengan jelas perbedaan mukmin dan munafik. Dengan kata lain, siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang dusta.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi