Awal Mula Wahyu Diturunkan bagian ke-5
Berikutnya dari hal yang telah diilhamkan Allah kepada Khadijah untuk mengajak Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menemui Waraqah ibn Naufal guna menyampaikan peristiwa yang telah dialaminya itu juga terkandung hikmah yang kembali menegaskan bahwa peristiwa yang begitu mengejutkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ternyata adalah wahyu Ilahi yang dahulu juga sudah turun kepada para nabi dan rasul lainnya. Pertemuan itu juga untuk menghilangkan keraguan dari dalam diri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang bercampur aduk dengan perasaan takut dan berbagai bentuk bayang-bayang untuk menginterpretasikan sesuatu yang baru saja beliau lihat dan dengar di Gua Hira.
Berkenaan dengan berhentinya wahyu turun untuk beberapa lama setelah peristiwa itu yang lamanya sekitar 6 bulan, walaupun masih ada perselisihan ulama mengenai hal ini, juga terkandung hikmah yang mematahkan tuduhan orang-orang yang menuduh bahwa wahyu yang turun kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sebenarnya adalah semacam bisikan hati yang muncul disebabkan seringnya beliau merenung atau bahwasanya wahyu itu adalah sesuatu yang berasal dari dalam diri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sendiri.
Allah Swt. rupanya sengaja untuk sekian lama tidak mempertemukan malaikat yang datang ke Gua Hira pada peristiwa turunnya wahyu pertama dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Bahkan, hal itu kemudian menyebabkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam begitu gundah, sehingga melahirkan kekhawatiran Allah meninggalkan dirinya lantaran keburukan yang mungkin telah ia lakukan. Kala itu, Rasulullah benar-benar terguncang sehingga membuat dunia di sekitarnya menyempit. Bahkan, menurut yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, setiap kali Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melintasi gunung, selalu tebersit keinginan untuk meloncat.
Semua itu mendadak sirna karena pada suatu hari, Rasulullah bertemu kembali dengan malaikat yang dijumpainya di Gua Hira. Kali ini, bentuk malaikat tersebut benar-benar luar biasa. Ukuran tubuhnya memenuhi langit dan bumi. Malaikat itu berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah kepada umat manusia.” Maka dari itu, sekali lagi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam merasakan takut yang luar biasa. Ia pun segera pulang ke rumahnya. Tidak lama kemudian, turunlah ayat,
“Hai orang yang (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan,” (QS Al-Muddatstsir [74: 1-2).
Keadaan yang dilewati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ini dengan tegas membantah anggapan bahwa wahyu yang beliau terima hanyalah bisikan hati, apalagi sejenis gejala kegilaan. Sebagaimana diketahui, orang-orang yang biasa mendengar bisikan hati atau memiliki renungan mendalam tidak akan bersikap seperti Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam
Jadi, hadits-hadits yang berisi keterangan ihwal permulaan turunnya wahyu seperti yang diriwayatkan secara sahih dan kuat memang secara langsung mematahkan semua yang digembar-gemborkan orang-orang sesat kepada umat manusia berkenaan dengan wahyu dan misi kenabian yang diemban Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Dengan melihat jelas hal itu, Anda pasti akan menemukan hikmah llahiah yang agung dan tersimpan di balik peristiwa turunnya wahyu pertama dengan cara yang diinginkan Allah Swt.
Mungkin saja, orang-orang sesat itu akan kembali bertanya, mengapa setelah kejadian di Gua Hira itu, pada saat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menerima wahyu di tengah orang banyak, tidak seorang pun dari para sahabat yang melihat Jibril?
Jawabannya, keberadaan sesuatu sama sekali tidak harus dapat dilihat dengan mata, apalagi indra penglihatan manusia sangat terbatas. Jika semua yang ada harus dapat dilihat dengan mata, berarti semua benda yang terlalu jauh untuk dilihat dapat dianggap tidak ada. Sementara itu, Allah Swt. Yang Mahakuasa pasti sangat sanggup untuk memberi kekuatan tambahan terhadap indra penglihatan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sehingga beliau mampu melihat makhluk Allah yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa. Berkenaan dengan masalah ini, Malik ibn Nabi menyatakan sebagai berikut.
“Sebagai contoh, kondisi buta warna memberikan kita contoh sebuah kondisi di saat mata seseorang tidak dapat melihat warna tertentu yang dapat dilihat mata normal. Di samping itu, masih banyak terdapat spektrum sinar inframerah dan ultraviolet yang tidak dapat dilihat mata kita dan tidak ada sesuatu pun yang dapat ditetapkan secara ilmiah bahwa kondisinya akan sama ketika dilihat oleh semua mata manusia. Apalagi, sangatlah mungkin jika mata yang dimiliki seseorang dan orang lain memiliki kepekaan yang berbeda.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi