Awal Mula Wahyu Diturunkan bagian ke-3
Mengapa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melihat Jibril dengan mata kepalanya sendiri untuk pertama kali, padahal wahyu sebenarnya dapat turun “dari balik tirai (min wara’i hijab)?
Mengapa Allah Swt. melesakkan perasaan takut ke dalam hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan keraguan dalam memahami hakikat peristiwa itu? Bukankah kecintaan Allah Swt. terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam semestinya berimplikasi pada perlindungan dan anugerah ketenangan di dalam hati beliau sehingga tak perlu takut saat menerima wahyu?
Mengapa Rasulullah sempat mengkhawatirkan keselamatan dirinya kalau-kalau makhluk yang beliau lihat di Gua Hira adalah sebangsa Jin? Padahal, makhluk itu jelas malaikat yang tepercaya di sisi Allah Swt.
Mengapa setelah wahyu pertama itu turun, mendadak wahyu tidak turun lagi untuk sekian lama, sampai Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dikabarkan begitu gelisah? Bahkan, sampai Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam—sebagaimana diriwayatkan Imam Al-Bukhari—sempat berniat meloncat dari puncak gunung?
Semua pertanyaan itu tentu wajar jika muncul pada perkara turunnya wahyu untukpertama kali. Kemudian, ketika mencari jawaban atas semua pertanyaan itu, kita akan menemukan hikmah yang luar biasa besar. Hikmah itu ialah berupa bukti bahwa semua orang yang berpikir sehat dan independen ternyata dapat menemukan sebuah fakta yang akan melindungi dirinya dari racun kesesatan yang dihembuskan para pelaku ghazw al-fikr dan melindungi dirinya dari pengaruh khayalan orang-orang dungu yang sesat ini.
Betapa tidak, dengan mengetahui bahwa Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam merasa sangat ketakutan ketika di dalam Gua Hira ia berhadapan dengan Jibril yang menyuruhnya membaca, kita dapat mengetahui bahwa temyata wahyu sama sekali bukanlah bisikan hati yang muncul dari dalam diri Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sendiri, melainkan sebentuk “pertemuan” dengan realitas eksternal yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan diri atau jiwa Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sendiri.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi