Kebiasaan Rasulullah Berkhalwat dalam Gua Hira Bagian Ke-2
Hal lain yang tidak kalah penting bagi kehidupan kaum muslimin, khususnya para dai, ialah merawat cinta kepada Allah di dalam hati. Hati adalah mata air bagi sifat luhur, seperti pengorbanan dan jihad. Hati juga landasan bagi setiap gerakan dakwah yang benar. Cinta kepada Allah Swt. tidak datang hanya dengan keimanan rasional karena rasio semata tak akan memengaruhi rasa dan gerak hati. Jika benar rasionalitas dapat langsung memengaruhi iman dalam hati, pastilah para orientalls menjadi orang-orang terdepan dalam hal beriman kepada Allah Swt. dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Hati mereka pasti akan selalu hidup untuk mengingat Allah Swt. dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Pernahkah Anda mendengar keimanan seorang ilmuwan semakin bersinar lantaran la berhasil memecahkan sebuah rumus matematika atau menjawab soal aljabar?
Setelah iman, jalan menuju kecintaan kepada Allah Swt. adalah dengan melakukan perenungan terhadap berbagai nikmat Allah, menghayati keagungan dan kebesaran-Nya, dan memperbanyak zikir, baik dengan hati maupun lisan. Semua itu akan menjadi sempurna jika dilakukan dengan beruzlah atau berkhalwat, yaitu dengan beberapa saat menjauhi segala kesibukan dan gemerlap kehidupan dunia
Kalau saja perenungan seperti itu benar-benar dilakukan seorang muslim niscaya kecintaan yang mendalam terhadap Allah Swt. akan bersemi dalam hatinya. Kecintaan itu akan membuatnya melihat persoalan besar sebagai hal kecil, juga tidak mengindahkan hal-hal yang memalingkan hatinya dari Allah Swt. Selain itu, siksaan sesama manusia dianggapnya tidak seberapa, apalagi sekadar penghinaan dan cercaan. Sifat luhur seperti inilah yang seharusnya dimiliki setiap dai yang menyeru manusia ke jalan Allah Swt. Sifat luhur seperti inilah yang dahulu Allah anugerahkan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam selaku pemimpin dakwah Islam.
Hal ini dapat terjadi karena semua gerakan hati, seperti rasa takut (khauf), cinta (mahabbah), dan harap (raja’ ), memiliki pola kerja yang sama sekali berbeda dengan pola kerja akal. Tidaklah keliru bilamana Imam Al-Syathibi rahimahullah membedakan antara gerakan hati seorang muslim dari kalangan awam—dengan tanggung jawab keagamaannya bersumber dari pemahaman Islam yang “dangkal”—dengan kalangan khusus (elit), yang biasanya melakukan tanggung jawab keagamaan atas dasar dorongan olah pikir, rasionalitas, dan pemahaman. Berikut pernyataan Al-Syathibi.
“Kelompok pertama (awam) adalah mereka yang menjalankan ajaran Islam dan menerapkan keimanan yang tidak bertambah. Adapun kelompok kedua (khusus) adalah mereka yang menjalankan ajaran Islam atas dasar rasa takut (khauf), harap (raja ), atau cinta (mahabbah). Jadi, bagi kelompok ini, rasa takut (khauf) seakan-akan menjadi cambuk sais pedati, harap (raja’) menjadi sang sais, dan cinta (mahabbah) menjadi pedatinya. Seseorang yang memiliki rasa takut (khauf) akan beramal ketika muncul kesulitan. Rasa takut itu sendiri merupakan salah satu perkara yang paling berat untuk dihadapi dengan kesabaran (shabr). Seseorang yang memiliki rasa harap (raja’) juga akan beramal ketika muncul kesulitan. Kemudian, rasa harap (raja’ ) yang muncul pada ketenangan yang sempurna akan mampu memikul kesabaran. Seseorang yang memiliki rasa cinta (muhibb) akan beramal untuk menyingkirkan kesulitan demi kerinduannya kepada yang dicintai (mahbub) sehingga bagi dia, segala bentuk kesulitan menjadi mudah-dan segala yang jauh terasa dekat. Apa pun yang ia lakukan hanyalah untuk memenuhi janji cintanya. Oleh karena itu, ia akan selalu mensyukuri nikmat yang diterima.
Sebagaimana dinyatakan jumhur ulama dan sejumlah pakar, upaya untuk menempuh berbagai wasilah demi mengejawantahkan semua gerakan hati ini kemudian dikenal dengan istilah tasawuf. Namun, ada pula ulama lain yang menyebutnya dengan istilah ihsan. Adapun Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan beberapa ulama lain lebih suka menggunakan istilah ilm suluk.
Nah, kebiasaan berkhalwat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sebelum diangkat menjadi rasul merupakan salah satu cara untuk mengaktualisasikan semua gerak hati beliau.
Namun, perlu diingat, yang dimaksud dengan “khalwat” di sini sama sekali bukanlah seperti yang dimaksud orang-orang sesat, yaitu meninggalkan semua yang berbau kehidupan dunia, seperti memilih tinggal di gua, hutan, atau gunung-gunung. Sikap menjauhi kehidupan dunia seperti itu jelas bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan teladan para sahabat. “Cinta khalwat” sebenarnya dimaksudkan untuk menjadi “perenungan” sebagai obat berbagai kerusakan batin, sebagaimana telah kami kemukakan. Sebagaimana kita ketahui, “obat” hanya boleh dikonsumsi sesuai dosis. Jika berlebihan, ia akan berubah menjadi racun bagi tubuh. Bahkan, kalaupun Anda menemukan riwayat hidup beberapa orang saleh yang hidup menyendiri jauh dari masyarakatnya, itu harus dianggap sebagai pengecualian, tidak boleh digeneralisasikan.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi