Awal Mula Wahyu Diturunkan Bagian 2
Untuk memuluskan jalannya itu, para musuh Islam lalu mengo-barkan “serangan pemikiran” (ghazw al-fikri), yang salah satunya dalam bentuk upaya menginterpretasi makna eksplisit wahyu dengan akal belaka, bukan menggunakan berbagai penjelasan yang terdapat dalam sunah dan hadits-hadits sahih. Mereka juga menjauhkan makna eksplisit wahyu dari aslinya, kemudian menerapkan berbagai bentuk reka-reka dan khayalan yang ganjil.
Orang-orang dungu itulah yang menyatakan bahwa dalam menjalankan risalahnya, Muhammad selalu menggunakan akal pikirannya sendiri sampai nabi umat Islam ini berhasil menyusun sebuah akidah rekaan yang menghancurkan paganisme. Mereka juga sering berkata bahwa sebenarnya Muhammad mempelajari ajaran yang kemudian disebut “Islam” dari rahib yang bernama Buhaira. Bahkan, ada pula di antara orang-orang dungu itu yang mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang ekstremis fanatik yang mengidap penyakit epilepsi.
Melihat berbagai macam tuduhan dusta itu, akal sehat kita langsung dapat mengetahui bahwa itu semua adalah bentuk penyangkalan terhadap misi kenabian Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Kita pasti dapat memetik hikmah Ilahi yang jelas terlihat di balik peristiwa turunnya wahyu kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan cara seperti yang telah kita ketahui bersama melalui hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari,
Mengapa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melihat Jibril dengan mata kepalanya sendiri untuk pertama kali, padahal wahyu sebenarnya dapat turun “dari balik tirai (min wara’ i hijab)?
Mengapa Allah Swt. melesakkan perasaan takut ke dalam hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan keraguan dalam memahami hakikat peristiwa itu? Bukankah kecintaan Allah Swt. terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam semestinya berimplikasi pada perlindungan dan anugerah ketenangan di dalam hati beliau sehingga tak perlu takut saat menenma wahyu?
Mengapa Rasulullah sempat mengkhawatirkan keselamatan dirinya kalau-kalau makhluk yang beliau lihat di Gua Hira adalah sebangsa Jin? Padahal, makhluk itu jelas malaikat yang tepercaya di sisi Allah Swt.
Mengapa setelah wahyu pertama itu turun, mendadak wahyu tidak turun lagi untuk sekian lama, sampai Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dikabarkan begitu gelisah? Bahkan, sampai Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam—sebagaimana diriwayatkan Imam Al-Bukhari—sempat berniat meloncat dari puncak gunung?
Semua pertanyaan itu tentu wajar jika muncul pada perkara turunnya wahyu untukpertama kali. Kemudian, ketika mencari jawaban atas semua pertanyaan itu, kita akan menemukan hikmah yang luar biasa besar. Hikmah itu ialah berupa bukti bahwa semua orang yang berpikir sehat dan independen ternyata dapat menemukan sebuah fakta yang akan melindungi dirinya dari racun kesesatan yang dihembuskan para pelaku ghazw al-fikr dan melindungi dirinya dari pengaruh khayalan orang-orang dungu yang sesat ini.
Betapa tidak, dengan mengetahui bahwa Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam merasa sangat ketakutan ketika di dalam Gua Hira ia berhadapan dengan Jibril yang menyuruhnya membaca, kita dapat mengetahui bahwa temyata wahyu sama sekali bukanlah bisikan hati yang muncul dari dalam diri Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sendiri, melainkan sebentuk “pertemuan” dengan realitas eksternal yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan diri atau jiwa Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sendiri.
Tindakan Jibril yang merengkuh kuat, lalu melepaskan tubuh Muhammad hingga tiga kali seraya berkata, “Bacalah!” juga semakin menegaskan adanya pertemuan eksternal antara dua makhluk Allah ini. Hal ini tentu membantah tuduhan yang menyatakan bahwa ketika menerima wahyu pertama, Muhammad sedang mendengarkan bisikan hatinya sendiri.
Pada saat itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam benar-benar merasa ketakutan disebabkan hal yang ia dengar dan lihat sehingga ia memutuskan untuk menghentikan khalwatnya di dalam Gua Hira dan langsung kembali ke rumahnya dengan hati yang bergetar. Hikmah di balik itu adalah agar setiap orang yang berakal sehat mengerti bahwa pada saat itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sama sekali belum mengenal risalah yang akan dibebankan padanya untuk kemudian disebarkan ke seluruh dunia. Selain itu, kita bisa memahami bahwa wahyu yang turun kepada Muhammad itu sama sekali bukan sesuatu yang menjadi kelanjutan dari sesuatu yang dibayangkan atau tebersit di dalam hati Muhammad sendiri. Wahyu itu justru muncul dalam bentuk yang mengguncang dan sangat mengejutkan bagi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Jadi, tidak diragukan lagi, sesuatu yang turun kepada Muhammad bukanlah sesuatu yang berasal dari bayang-bayang dalam angan yang kemudian muncul dalam jiwa Muhammad untuk kemudian dijadikan sebagai akidah yang harus disampaikan kepada umat manusia.
Uraian di atas tentu benar sebab ilham, suara hati, atau bayang-bayang di dalam benak seseorang tidaklah mungkin dapat menyebabkan ketakutan yang luar biasa. Angan-angan yang terlintas di dalam batin tidak akan mungkin terkait dengan keterkejutan dan ketakutan. Tuduhan bahwa Muhammad berdusta dan mengada-ada akan gugur dengan sendirinya. Hal itu disebabkan di sepanjang hidup, Muhammad dikenal luas sebagai pribadi yang jujur dan tepercaya.
Gambaran ketakutan yang dialami Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ini juga semakin tebal ketika kita mengetahui bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sempat mengira malaikat yang menemuinya di dalam Gua Hira adalah sebangsa Jin. Pada saat itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berkata kepada Khadijah, “Sungguh aku khawatir akan diriku.” Maksudnya, keselamatan dari gangguan jin. Khadijah pun langsung menenangkan Rasulullah dengan mengatakan bahwa suaminya itu bukanlah orang yang dapat dengan mudah diganggu setan dan jin karena memiliki akhlak dan berbagai sifat terpuji.
Sumber : Fiqih Sirah Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi