Kebiasaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Berkhalwat dalam Gua Hira Bagian 1
Menginjak usia 40 tahun, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, menjadi suka berkhalwat. Allah Swt, rupanya membuat calon nabi-Nya itu gemar menyendiri di dalam Gua Hira. Gua Hira terletak di sebuah gunung di sebelah barat laut Kota Mekah. Dalam khalwat, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam beribadah selama beberapa malam. Adakalanya 10 malam, tetapi terkadang juga lebih dari sebulan. Setelah berkhalwat, Rasulullah pulang ke rumah. Beberapa hari kemudian, ia kembali menyiapkan keberangkatan untuk berkhalwat lagi di Gua Hira. Begitulah kebiasaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sampai akhirnya menerima wahyu.
Pelajaran dan Bahan Renungan:
Kebiasaan berkhalwat yang begitu digemari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ini tentu memiliki hikmah yang luar biasa besar. Kebiasaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ini menjadi begitu penting bagi kehidupan kaum muslimin, khususnya bagi para penyeru ke jalan Allah Swt.
Kebiasaan berkhalwat yang dilakukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ini juga menunjukkan bahwa keislaman seorang muslim belum dapat dikatakan sempurna, walaupun telah melakukan berbagai bentuk ibadah, sampai ia terbiasa menghabiskan beberapa saat dalam hidupnya untuk merenungi diri sendiri, menyadari keberadaan Allah, memikirkan berbagai fenomena alam, dan berbagai bukti kebesaran-Nya.
Jika khalwat menjadi salah satu amalan utama bagi muslim yang ingin mencapai kebenaran Islam, ia pun lebih utama bagi mereka yang menempatkan diri sebagai penyeru ke jalan Allah Swt.
Salah satu hikmah terbesar dari khalwat adalah menghilangkan penyakit yang tidak dapat diobati, selain dengan uzlah dari khalayak, dan merenungi diri sendiri dengan menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan dunia dan segala gemerlapnya. Kesombongan, ujub, dengki, riya, dan cinta dunia adalah penyakit yang merasuki jiwa, kemudian bercokol di kedalaman hati, menghancurkan dan batin manusia. Bisa jadi, secara lahiriah seseorang terlihat banyak melakukan anal saleh dan ibadah. Bahkan, giat berdakwah mengajak pada kebaikan dan banyak memberikan nasihat kepada orang lain.
Penyakit batin seperti itu tidak dapat diobati, selain dengan menyendiri beberapa saat untuk memikirkan hakikat dirinya, Zat yang telah menciptakannya, serta kebutuhan terhadap pertolongan dan taufik dari Allah Swt. Bisa juga dalam uzlah merenungkan orang lain, kelemahan mereka di hadapan Zat Yang Maha Pencipta, dan betapa tidak bermanfaatnya pujian dan celaan mereka. Selain itu, merenungi keagungan Allah, Hari Akhir, Hari Perhitungan Amal, kebesaran rahmat Allah, dan beratnya siksa yang Allah timpakan kepada para pendosa.
Dengan melakukan renungan panjang seperti itu, semua penyakit hati akan rontok satu per satu. Hati akan kembali hidup di bawah naungan cahaya pengetahuan dan kejemihan. Cermin dalam hati orang-orang yang tidak dimabuk kehidupan dunia pasti tidak pernah kotor.
Hal lain yang tidak kalah penting bagi kehidupan kaum muslimin, khususnya para dai, ialah merawat cinta kepada Allah di dalam hati. Hati adalah mata air bagi sifat luhur, seperti pengorbanan dan jihad. Hati juga landasan bagi setiap gerakan dakwah yang benar. Cinta kepada Allah Swt. tidak datang hanya dengan keimanan rasional karena rasio semata tak akan memengaruhi rasa dan gerak hati. Jika benar rasionalitas dapat langsung memengaruhi iman dalam hati, pastilah para orientalis menjadi orang-orang terdepan dalam hal beriman kepada Allah Swt, dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Hati mereka pasti akan selalu hidup untuk mengingat Allah Swt, dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Pernahkah Anda mendengar keimanan seorang ilmuwan semakin bersinar lantaran la berhasil memecahkan sebuah rumus matematika atau menjawab soal aljabar?
Sumber : Fiqih Sirah Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi