Kita juga tidak boleh menutup pikiran dari sejarah yang menyatakan bahwa Ibrahim as .membangun Ka bah atas dasar perintah Allah Swt. Seilain itu, ia bangun dakwahnya sejalan dengan semua nabi dan rasul sebelumnya, yaitu menyerukan tauhid dan pengesaan terhadap Allah Swt serta keimanan kepada-Nya, kepada hal-hal gaib yang berhubungan dengan hari kebangkitan, dan kepada perkara balasan berupa surga atau neraka, yang kesemuanya dibuktikan oleh nash kitab-kitab samawi terdahulu dan dibenarkan oleh sejarah di sepanjang perjalanannya .Kita tidak boleh menutup pikiran dari semua itu hanya untuk membenarkan hipotesis yang menganggap “sisa ajaran Nabi Ibrahim” pada masa jahiliah sebenarnya tidak lain hanyalah serangkaian tradisi yang ditemukan oleh daya karsa bangsa Arab, kemudian diabsahkan oleh Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam .sebagai agama baru.
Kita harus benar-benar memahami bahwa orang yang berpandangan sesat seperti itu tidak pernah mau menggunakan dalil dan petunjuk apa pun yang dapat menguatkan hipotesis mereka. Sesungguhnya, sesuatu yang mereka reka-reka itu tidak lebih dari sekedar rangkaian kata-kata yang diputar balik sedemikian rupa, Tidak lebih!
Mungkin pembaca yang budiman akan bertanya tentang contoh hipotesis bodoh seperti tu. Silakan Anda membaca buku Bunyah Al. Fikr Al-Dini yang ditulis oleh seorang orientalis terkemuka asal Inggris yang bernama Gibb. Dengan membaca buku itu, Anda pasti dapat mengetahui seperti apa peran fanatisme buta dalam tulisan mereka. Fanatisme picik yang telah menyeret para pelakunya untuk selalu bersikap congkak, kendati di hadapan dalil dan hakikat yang seharusnya mereka terima dengan menundukkan kepala.
Menurut Gibb, pemikiran Islam dibangun di atas berbagai macam kepercayaan dan paham supranatural yang dianut masyarakat Arab. Muhammad lalu meneliti semua itu, melakukan sedikit modifikasi, kemudian memberinya label baru sebagai agama bernama “islam”. Masih menurut Gibb, Muhammad lalu menyokong agama barunya dengan bangunan pemikiran dan ajaran agama yang dianggap sesuai dengan budaya Arab kala itu. Namun, Muhammad kemudian menemukan kesulitan ketika menjalankan misinya karena dia ingin menyebarkan agama barunya bukan hanya kepada orang-orang Arab, tetapi juga kepada semua bangsa di dunia. Maka dari itu, Muhammad pun membuat Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi semua manusia.
Itulah pemikiran orientalis bernama Gibb yang tertuang dalam bukunya itu. Dengan membacanya sampai tuntas, bisa dipastikan, Anda tidak akan menemukan sepotong dalil pun yang ia gunakan untuk mendukung kebenaran semua ”tuduhan” yang la lemparkan. Singkat kata, Anda pasti Iangsung mengetahui bahwa Gibb sebenarnya berkhayal terlalu jauh dari tempatnya menulis buku itu. Tak heran jika ia memasukkan berbagai purbasangka dan takhayul yang kemudan ia anggap sebagai kebenaran.
Lucunya, ketika Gibb menulis kata pengantar untuk bukunya dalam edisi berbahasa Arab, ia sempat berpikir bahwa setelah membaca buku tersebut, para pembaca di Arab pasti akan mulai memandang Islam dengan penuh penghinaan. Namun, rupanya Gibb ingin membela diri.
Orientalis itu berkata, Sebenarnya, ide-ide yang mendasari penyusunan tulisan ini bukanlah hasil pikiran penulis, melainkan penemuan atas petunjuk dari sekian banyak pakar, termasuk dari kalangan muslim sendiri. Mereka telah melakukan penelihan panjang. Salah satu dari mereka adalah Syekh syah Waliyullah Al-Dahlawi.”
Apa yang terjadi kemudian?
Rupanya Gibb tidak menyadari bahwa di antara pembaca bukunya ada yang merujuk Iangsung kepada tulisan Syah Waliyullah yang berjudul Hujjatullah AI-Balighah jilid 1 halaman 122. Gibb menukil bagian dari karya sang Syekh, lalu menafsirkannya sekehendak hati. Tak pelak, kesimpulan yang dilahirkan sama sekali berbeda dengan arti yang dimaksud oleh Syekh Syah Waliyullah Al Dahlawi. Demikian itu menobatkan Gibb sebagai pendosa yang tak terampuni.
Tulisan Syah Waliyullah yang dikutip Gibb, kemudian ditafsirkan secara sesat itu berbunyi,
‘Sesungguhnya pengangkatan Muhammad sebagai rasul adalah untuk menjalankan misi yang meliputi Iainnya. Dan bagian paling utama dari misi
(Muhammad) itu adalah misinya kepada Bani Ismail. Misi seperti ini tentunya membuat kandungan syariat Muhammad harus sejalan dengan berbagai tradisi dan ritual yang telah mereka miliki. Karena syariat (Muhammad) itu sebenarnya hanyalah reformasi dari apa yang telah ada pada mereka (bangsa Arab), bukan untuk membebani mereka dengan sebuah ajaran baru yang sama sekali belum pernah mereka kenal.”11
Ada pun teks selengkapnya dari buku Hujjatullah Al Balighah yang dikutip dan dipelintir oleh Gibb berbunyi sebagai berikut,
Ketahuilah bahwa Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. diutus sebagai rasul dengan membawa ajaran hanif yang berakar dari ajaran Ismail. Selanjutnya, Muhammad meluruskan bagian- bagian yang bengkok, menghilangkan bagian bagian yang rusak, dan kembali menyulut nyala api (ajaran)nya. Itulah yang dinyatakan Allah Swt .dalam Al-Qur’an sebagai ‘agama (millah) ayah kalian Ibrahim’ Karena itu, fondasi ajaran (milIah) tersebut haruslah dapat diterima, aturannya juga harus kukuh dan lempeng. Sebab, jika seorang nabi diutus kepada suatu kaum yang di dalamnya masih terdapat aturan (lama) yang kukuh dan lempeng, maka tak ada guna bagi nabi tersebut untuk mengubah atau menggantinya. Alih-alih, justru nabi tersebut wajib menguatkannya, karena hal Itu akan lebih mengena pada diri kaum tersebut dan akan lebih menguatkan hujjah yang diajukan kepada mereka. Bani Ismail telah mewarisi ajaran kakek moyang mereka, Ismail. Mereka masih memegang syariat tersebut hingga kemunculan Amr ibn Luhayy Dialah yang memasukkan pikiran tak sehat ke dalam syariat yang lurus tersebut, sehingga sesatlah ia dan menyesatkan kaumnya. Amr lalu mengajarkan penyembahan terhadap berhala dan membuat-buat adanya Bahrrah dan Sorbah Maka, sejak saat itu agama yang dibawa Ismail pun berubah sesat karena kebenaran telah bercampur dengan kebatilan. Bangsa Arab mulai dldungkung kebodohan, kemusyrikan, dan kekufuran, sampai akhirnya Allah mengutus Muhammad sebagai rasul untuk meluruskan kembali bagian yang bengkok, dan untuk membetulkan kembali bagian yang rusak. Melihat keyakinan yang dianut kaumnya, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. menemukan bagian-bagian yang masih sesuai dengan ajaran Nabi Ismail as. Atau, syariat yang diajarkan Allah Swt Maka, beliau pun mengukuhkan semua itu. Tetapi, ada pula bagian lain yang melenceng dan rusak, mengandung kemusyrikan dan kekufuran. Maka, beliau pun menggugurkan semua itu, lalu beliau tetapkan sebagai kebatilan”
Dengan tegas kita semua tentu menolak untuk membahas atau mendiskusikan kesesatan yang dibuat oleh “pakar” yang satu ini. Kalaupun dipaksakan, hasilnya juga sia-sia. Apalagi yang harus didiskusikan jika kesesatannya sudah terlihat begitu nyata? Akan tetapi, kami ingin agar para pembaca yang budiman mengetahui, seperti apa gerangan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh fanatisme yang membabi buta terhadap orang yang melakukannya. Lewat pembahasan ini juga kami ingin semua umat Islam mengetahui fakta tentang adanya metodologi ciptaan ilmuwan Barat yang dipegang teguh oleh sebagian orang, kemudian diikuti secara membabi buta oleh kaum muslimin sendiri.
Jadi, sekarang Anda telah memahami esensi dari hubungan antara Islam dan pikiran jahiliah yang banyak mewarnai bangsa Arab sebelum itu. Anda juga tentu sekarang telah mengetahui hubungan antara masa jahiliah dengan ajaran hanif yang diemban oleh Nabi Ibrahim as. Melalui pemahaman terhadap dua hal ini, Anda tentu dapat dengan jelas melihat latar belakang, mengapa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam. justru mengukuhkan beberapa tradisi yang telah mengakar di tengah bangsa Arab, alih-alih memberangusnya secara membabi buta?
Cukuplah rasanya kami menyampaikan sekadar pengantar yang harus Anda ketahui sebelum kita mulai menyelami samudra sirah Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam .untuk mengambil mutiara yang berkilauan. Pada bagian selanjutnya. Anda pasti akan menemukan berbagai penjelasan tambahan yang lebih menegaskan esensi dari semua yang telah kami jelaskan di muka.
Sumber Fiqih Sirah Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi