Dan perintah hijrah ini, setidaknya kita dapat memetik dua poin penting berikut:
Pertama, kewajiban untuk hijrah dari Dar al-Harb (Negeri Perang) ke Dar al-Islam (Negeri Islam). Imam Al-Qurthubi meriwayatkan dari Ibnu Arabi, “Sebenamya, hijrah yang diwajibkan pada masa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, hukumnya adalah tetap demikian sampai Hari Kiamat tiba. Adapun yang gugur hukumnya setelah peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Mekah) adalah keberangkatan untuk menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam karena tetap tinggal di Dar al-Harb (Negeri Perang) merupakan sebuah kemaksiatan.”67
Yang dimaksud dengan Dar al-Harb (Negeri Perang) adalah semua tempat yang dilarang bagi umat Islam menjalankan syariat agama mereka, baik dalam bentuk shalat, puasa, shalat berjamaah, azan, dan berbagai hukum lainnya yang dapat dilihat secara lahir.
Allah Swt. berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Adalah karni orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat hijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),” (QS An-Nisa’ [4] : 97-98).
Kedua, kewajiban semua umat Islam untuk saling tolong-menolong satu sama lain walaupun mereka berasal dari tanah air yang berbeda jika memang pertolongan dapat diberikan. Pada ulama dan imam telah sepakat bahwa jika umat Islam mampu membantu sesama saudara mereka yang lemah, ditawan, atau dizalimi, kapan pun dan di mana pun berada, tetapi temyata mereka tidak melakukan hal itu, mereka semua harus menanggung dosa yang besar.
Abu Bakar ibn Arabi menyatakan, jika di antara umat Islam ada orang-orang yang ditawan atau tertindas, mereka harus dilindungi, wajib ditolong, dan kita sama sekali tidak boleh mengabaikan semua itu sampai mereka semua dapat diselamatkan jika memang kita mampu melakukan itu. Dengan demikian, kita gunakan semua harta yang kita untuk menolong mereka sampai tak tersisa sekeping dinar pun.68
Sebagaimana telah disampaikan, umat Islam harus saling melindungi satu sama lain. Maka dari itu, harus diketahui bahwa kewajiban ini hanya berlaku di kalangan umat Islam saja karena hal yang sama tidak berlaku antara umat Islam dengan para pemeluk agama lain. Inilah yang secara gamblang dinyatakan oleh Allah Swt dalam firman-Nya, ” Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hal para muslimm) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka burni dan kerusakan yang besar,” (QS Al-Anfal [8]: 73).
Ibnu Arabi menyatakan bahwa Allah telah memutuskan wilayah (perlindungan atau perwalian) antara kaum kafir dengan umat Islam karena Dia telah menetapkan bahwa kaum mukminin adalah pelindung bagi kaum mukminin yang lain sebagaimana orang-orang kafir juga menjadi pelindung bagi orang kafir yang lain untuk saling membantu dalam agama dan keyakinan mereka.69
Tidak diragukan lagi, penerapan aturan yang telah diajarkan Allah ini merupakan landasan bagi tercapainya kejayaan Islam di setiap masa. Sikap meremehkan yang dilakukan umat Islam terhadap ajaran Allah ini merupakan biang keladi dari segala kelemahan, perpecahan, dan dominasi musuh atas mereka, seperti yang kita lihat belakangan ini.
67Tafsir al-Qurthubi: 5/350
68Ibnu Arabi, Ahkam al-Qur’an, 2/876
69Ibnu Arabi, Ahkam al-Qur’an, 2/876
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi
.