Selama tinggal di Mekah, para sahabat diserang, disiksa, dicaci, dan dihina oleh orang-orang musyrik. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengizinkan mereka hijrah meninggalkan Mekah, cobaan itu pun berubah. Tantangan berikutnya yang mereka hadapi adalah kesediaan meninggalkan kampung halaman, harta, rumah, dan berbagai barang berharga lainnya.
Menghadapi dua cobaan itu, para sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tetap ikhlas menjalankan agama yang mereka anut. Mereka menghadapi semua cobaan dan penderitaan itu dengan kesabaran dan keteguhan hati yang luar biasa kukuh. Termasuk ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam memerintahkan mereka untuk hijrah ke Madinah, mereka langsung memenuhi perintah itu dengan meninggalkan tanah tumpah darah dan seluruh harta benda yang mereka miliki. Mereka memang tidak dapat membawa sebagian besar harta benda yang mereka miliki karena sebagaimana telah diketahui, sebagian besar Muhajirin hijrah secara sembunyi-sembunyi. Perjalanan yang dilakukan secara diam-diam tentu tidak mungkin dilakukan sambil membawa terlalu banyak barang. Oleh sebab itu, mereka merelakan hampir semua harta benda ditinggal begitu saja di Mekah. Rupanya, mereka lebih memilih untuk segera ke Madinah—sebuah persaudaraan hakiki tengah menunggu untuk membantu mereka.
lnilah sebaik-sebaik permisalan bagi setiap muslim yang ikhlas menjalani agamanya. la tidak memperdulikan tanah air, harta, atau barang berharga demi menyelamatkan agama yang dipeluknya.
Demikian kisah para sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang berada di Mekah.
Sementara itu, para sahabat Anshar yang tinggal di Madinah begitu antusias menyambut saudara-saudara mereka dari kalangan Muhajirin. Dengan senang hati para sahabat Anshar menyambut kedatangan Muhajirin. Mereka diajak tinggal bersama. Lebih dari itu, para sahabat Anshar tidak segan membantu apa pun untuk memenuhi kebutuhan para Muhajirin. Orang-orang Anshar inilah yang telah menunjukkan sebuah contoh terbaik tentang arti Ukhuwah Islarniyah dan kecintaan di dalam keridhaan Allah Swt.
Anda tentu sudah mengetahui bahwa Allah Swt. telah menjadikan persaudaraan seagama lebih kuat daripada persaudaraan senasab. Oleh sebab itu, pada masa awal Islam, hukum pewarisan pernah ditetapkan berdasarkan hubungan keberagamaan dan persaudaraan seagama.
Hukum waris baru ditetapkan berdasarkan hubungan nasab setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menetap di Madinah, yaitu ketika muslim telah memiliki Dar al-Islam (negeri Islam) yang kuat.
Allah Swt. berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelurn mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS Al-Anfal [8] : 72).
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi