Para ulama sirah menyatakan bahwa beberapa kuburan yang terdapat di tanah tempat penjemuran kurma tersebut adalah kuburan-kuburan tua. Di dalamnya sudah tidak ada lagi potongan daging mayat ataupun darahnya. Namun, seiring dengan itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam kemudian membongkar dan memindahkan semua tulang-belulang yang ada di dalam kuburan-kuburan tersebut.
Menurut hemat penulis, kebolehan menggunakan tanah pekuburan sebagai tempat pendirian masjid hanya berlaku jika tanah tersebut bukan tanah wakaf. Tetapi, jika tanah pekuburan itu adalah tanah wakaf, maka tanah itu sama sekali tidak boleh dialihfungsikan dari apa yang telah diniatkan oleh orang yang mewakafkannya (waqif).
Keempat. Hukum membangun, mengukir, dan menghias Masjid Nabi.
Yang dimaksud dengan “membangun” di sini adalah memperkuat dinding, bangunan, atap, dan pilar masjid dengan menggunakan bahan batu-batuan. Adapun yang dimaksud dengan “mengukir” dan “menghias” adalah memberi tambahan hiasan dari elemen utama bangunan masjid.
Berkenaan dengan perkara “membangun”, semua ulama membolehkan, bahkan menganjurkan. Hal itu didasarkan pada tindakan Utsman bin Affan ra. yang pernah merenovasi bangunan Masjid Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di Madinah. Meskipun tindakan semacam itu (merenovasi masjid) tidak pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, bukan berarti terlarang. Alih-alih dianggap sebagai tindakan pengrusakan terhadap masjid, renovasi justru melukiskan tingginya perhatian terhadap syiar agama Allah Swt. Dalam hal ini, para ulama juga menggunakan dalil firman Allah yang berbunyi, ‘Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kentudian…,” (QS At-Taubah [9]: 18). Padahal “memakmurkan” hanya dapat dilakukan dengan melakukan renovasi dan memperkuat bangunan.
Adapun berkenaan dengan masalah “mengukir” dan “menghias”, pada ulama sepakat menghukuminya makruh. Bahkan, di antara mereka ada yang mengharamkan. Namun, kebanyakan dari mereka lebih memilih menghukumi “makruh tanzih”. Tetapi semua ulama, baik yang menyatakan “makruh” maupun “haram”, sepakat mengharamkan penggunaan harta wakaf untuk menghias masjid secara berlebihan. Adapun jika harta yang digunakan untuk menghias masjid adalah milik yang mendirikan masjid tersebut, para ulama masih berselisih pendapat. Az-Zarkasyi, dengan menukil dari Imam Al-Baghwi, menyatakan bahwa hukum mengukir bangunan masjid yang pembiayaannya berasal dari harta wakaf adalah terlarang. Adapun hal itu dilakukan atas biaya pribadi, maka Az-Zarkasyi menyatakan itu makruh, karena hiasan yang berlebihan di dalam masjid dapat merusak kekhusyuan orang-orang yang melakukan shalat di dalamnya.83
83Pendapat Inllah yang dranut oleh pafa ahli fikih Syafi’iyyah. Adapun kalangan Hanafiyyah dan yang lainnya membolehkan hal itu jika memang dapat mendatangkan kemaslahatan.
Perbedaan antara “membangun” dalam pengertian yang umum, dengan “mengukir” atau “menghias” dalam pengertian khusus tentu sudah jelas dan tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Alasannya, “membangun”—sebagaimana diuraikan di atas—sama sekali tidak merusak hikmah dari perintah pendirian masjid. Sementara “mengukir” atau “menghias” sama-sama mengandung pengertian yang menyimpang dari hikmah awal pendirian masjid. Apalagi hiasan di dalam masjid melenakan hati orang-orang yang shalat dari kekhusyuan. Mereka akan sibuk mengagumi “perhiasan dunia”, padahal hikmah dari didirikannya masjid adalah agar manusia dapat melarikan diri dari gemerlap dunia dan mengosongkan hati dari segala pesona kehidupan yang fana.
Inilah perkara yang dulu pernah diingatkan oleh Umar bin Khaththab ra. Di dalam kitab Shahih yang disusunnya, Imam Al-Bukhari menyatakan bahwa ketika memerintahkan pembangunan sebuah masjid, Umar berkata, “Lindungi manusia (para jamaah) dari hujan, dan jangan sekali-kali kau hias ia dengan warna merah atau warna kuning, karena itu akan menjadi fitnah bagi manusia,” (HR Al-Bukhari).
Para ulama berselisih pendapat ihwal hukum menuliskan ayat Al-Qur’an di bagian kiblat masjid. Apakah hal itu termasuk “menghias” yang terlarang?
Imam Az-Zarkasyi menyatakan di dalam kitab I’lam as-Sajid, menulis ayat Al-Qur’an atau tulisan lain di bagian kiblat masjid hukumnya makruh. Imam Malik juga berpendapat begitu. Namun, sebagian ulama ada pula yang memperbolehkan. Mereka menyatakan, hal itu boleh berdasarkan riwayat yang menjelaskan apa yang dilakukan Utsman bin Affan ra. terhadap Masjid Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang tidak pernah disangkal kebenarannya.84
Dari apa yang telah kami uraikan di atas, Anda tentu telah dapat memahami kekeliruan yang dilakukan sebagian saudara kita yang berlebihan dalam memberi perhatian terhadap bangunan fisik masjid. Mereka berupaya semampunya untuk mengukir, menghias, dan mempercantik masjid hingga melarnpaui batas kepatutan, sampai-sampai orang yang masuk ke dalam masjid-masjid yang mereka bangun nyaris tidak dapat meresapi makna penghambaan manusia di hadapan Allah Swt. Alih-alih, mereka justru sibuk membincangkan berbagai macam hiasan dan teknik arsitektur clan masjid yang mereka masuki.
Dan kondisi terburuk dari semua ini adalah ketika setan akhirnya berhasil menggoda kalangan menengah bawah dari umat Islam. Sebagaimana diketahui, jika semua masjid dibangun dengan sedemikian mewah, maka tidak akan ada tempat lagi bagi kalangan muslim berpenghasilan rendah untuk dapat meresapi indahnya kesederhanaan dalam penghambaan manusia di hadapan Allah. Dengan berada di masjid, seharusnya muslim yang miskin dapat menemukan pelipur bagi kemiskinannya. Di sana mereka diajak keluar dari gemerlap dunia, segala pesona, dan pernak-pernik perhiasannya. Mereka diperintah menghadapkan hati ke arah akhirat yang kekal. Andaikata semua masjid dibangun sedemikian mewah, orang-orang miskin akan semakin tersuruk dalam kesengsaraan. Padahal, masjid seharusnya menjadi ‘tempat berlindung’ bagi mereka. Tapi sebaIiknya, orang-orang miskin justru merasa dikepung kemewahan yang semakin menyesakkan dada mereka.
Demi Allah, betapa buruknya apa yang dilakukan umat Islam jika mereka telah pergi meninggalkan esensi ajaran agamanya, untuk kemudian berpaling pada penampilan fisik yang seakan-akan menjadi bagian dari agama yang luhur ini. Padahal, hanya berisi kebusukan dunia yang menggelegakkan hawa nafsu dan kesombongan tak terkira.
———-
84I’lam as-Sajid, 227.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi