Dari uraian di atas, kita dapat memetik beberapa poin penting, antara lain:
Pertama. Posisi penting masjid di dalam setiap masyarakat dan negara Islam.
Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tiba di Madinah dan menetap di kota itu, ketika itu pula beliau membangun sebuah masyarakat Islam yang kuat, beranggotakan Muhajirin dan Anshar sebagai eleman utamanya. Untuk itu, tindakan pertama yang dilakukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam adalah mendirikan sebuah masjid.
Tidak mengherankan, karena pendirian masjid merupakan tindakan terpenting dalam proses pembangunan masyarakat Islam. Sebab, masyarakat Islam yang kuat harus berpegang pada aturan, akidah, dan prinsip-prinsip moral Islam, yang kesemua itu berhulu pada potensi spiritual masjid.
Salah satu elemen terpenting dalam sistem masyarakat Islam adalah terwujudnya hubungan persaudaraan antarumat Islam yang didasarkan pada cinta-kasih dan ketulusan. Tetapi, perlu disadari bahwa hubungan seperti itu hanya dapat dibangun di dalam masjid. Betapa tidak, jika umat Islam tidak pernah berjumpa satu sama lain di dalam rumah Allah, tentu semua perbedaan kedudukan, kekayaan, dan status sosial akan menghalangi terjalinnya hubungan persaudaraan yang tulus di antara mereka.
Elemen penting lain yang harus ada di dalam sistem masyarakat Islam adalah menyebarnya semangat kesetaraan dan keadilan di dalam tubuh umat Islam itu sendiri, walaupun mereka berasal dari strata sosial yang berbeda-beda. Tetapi, tentu saja semangat berkeadilan seperti ini tidak akan pernah terwujud dengan sempurna jika umat Islam tidak pernah bertemu setiap hari dalam satu shaf untuk sama-sama berdiri di hadapan Allah Swt., menghadapkan jiwa dan raga mereka kepada-Nya, serta mempertautkan hati sepenuhnya dengan Zat Yang Mahatunggal dan Mahamulia. Jika setiap muslim beribadah kepada Allah di rumah masing-masing tanpa pernah mengecap indahnya kebersamaan, maka keadilan dan kesetaraan yang mereka impikan pasti akan sulit terwujud, karena terhalang oleh sifat egois dan saling merasa paling unggul.
Elemen penting lain yang harus ada di dalam sistem masyarakat Islam adalah meluruhnya seluruh umat Islam dalam kesatuan pandangan yang dihubungkan oleh “Tali Allah”, yang menjadi aturan dan syariat bagi mereka semua. Namun, jika di tengah masyarakat Islam itu sendiri tidak ada satu pun masjid yang dapat menjadi tempat bertemunya umat Islam untuk mempelajari hukum-hukum Allah Swt. dan syariat yang Dia tetapkan, maka tentulah kesatuan mereka akan segera hancur berkeping-keping. Tiap-tiap kelompok akan disibukkan oleh ambisi masing-masing.
Jadi, untuk mewujudkan semua elemen penting ini di tengah masyarakat dan negara Islam yang baru di Madinah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam langsung memerintahkan pendirian masjid sebelum melakukan tindakan lainnya.
Kedua. Hukum jual-bell yang dilakukan dengan anak-anak atau kalangan yatim-piatu muslim yang belum baligh.
Sebagian ulama—antara lain dari kalangan Hanafiyah—menggunakan hadits tentang pembelian yang dilakukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan dua anak yatim pemilik tanah yang menjadi tempat pendirian Masjid Nabi ini sebagai dalil diperbolehkannya melakukan transaksi jual-beli dengan muslim yang belum cukup umur.80
Jika jual-beli dengan anak-anak yang belum baligh dianggap tidak sah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak akan melakukan hal itu dengan kedua anak pemilik tanah tersebut.
Sementara itu, pendapat jumhur ulama yang menghukumi transaksi jual-beli dengan anak-anak tidak sah, didasarkan pada firman Allah Swt., “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa..!” (QS Al-An’arn [6): 152).
Adapun hadits tentang “tanah tempat penjemuran kurma” yang dikutip dalam uraian ini mereka tanggapi sebagai berikut:
Pertama, di dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Uyainah dikatakan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sebenarnya melakukan transaksi bukan dengan kedua anak yatim tersebut, melainkan dengan paman yang menjadi wali mereka berdua. Jadi, apa yang dianut oleh kalangan Hanafiyah sama sekali tidak dapat dijadikan hujjah.81
Kedua, dalam perkara seperti ini, sebenarnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berhak menjadi wali bagi kedua anak yatim tersebut. Sebab, sebagaimana diketahui, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam adalah wali bagi seluruh umat Islam. Maka, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dapat membeli tanah tersebut dari kedua anak yatim dalam posisi sebagai “wali” bagi mereka berdua, sebagaimana beliau menjadi wali bagi seluruh umat Islam.
Ketiga. Dibolehkan membongkar kuburan untuk kemudian dijadikan masjid asal tanah kuburan tersebut dibersihkan terlebih dahulu.
Dalam mengomentari hadits “tanah penjemuran kurma” ini, Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini menjadi dalil dibolehkannya membongkar kuburan lama. Bahkan, jika tanah bekas kuburan itu sudah dibersihkan dari mayat (tulang, daging, dan darahnya), tanah tersebut boleh dijadikan sebagai tempat shalat, bahkan boleh dijadikan sebagai masjid.
Hadits ini juga menjadi dalil bahwa tanah yang pernah dijadikan tempat pemakaman boleh dijual, tetap menjadi milik pemiliknya yang sah, dan tetap dapat diwariskan jika hak pewarisannya belum gugur.82
————-
80I’lam as-Sajid, 223
81Fath al-Bari bi Syarh Al-Bukhari, 8/175