Inilah dasar kedua yang dijadikan landasan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam membangun masyarakat sekaligus negara Islam di Madinah. Posisi penting dasar kedua ini dapat kita lihat dalam beberapa poin di bawah ini:
Pertama, negara mana pun yang ada di bumi tidak mungkin akan berdiri tegak kecuali di atas persatuan dan kesatuan warganya. Padahal, persatuan dan kesatuan tidak akan mungkin terwujud jika tidak ada ikatan persaudaraan dan rasa kasih-sayang yang kuat. Sebuah komunitas yang tidak diikat oleh tali persaudaraan dan kasih-sayang yang tulus pasti tidak akan dapat menyatukan pandangan dengan baik. Dan, ketika sebuah komunitas atau bangsa tidak memiliki tali pengikat yang baik, mereka pun tidak akan pemah dapat membangun sebuah negara yang kuat.
Persaudaraan yang kokoh juga harus dibangun dengan berlandaskan akidah dan iman yang sejalan. Persaudaraan antara dua orang yang memiliki ideologi atau iman berbeda, hanyalah persaudaraan semu. Terlebih jika ideologi atau keyakinan berbeda yang dianut oleh masing-masing mereka temyata menuntut penganutnya untuk menerapkan aturan moral tertentu dalam kehidupan yang mereka jalani.
Karena itulah mengapa persaudaraan para sahabat dibangun Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berlandaskan akidah Islam yang beliau bawa dari hadirat Allah Swt., yang meletakkan semua manusia di tengah barisan penghambaan kepada-Nya tanpa memandang apa pun selain takwa dan amal saleh. Ketika sekelompok orang yang memiliki akidah dan keyakinan berbeda dipaksa diikat dalam “persaudaraan”, mereka pasti akan mengedepankan egoisme dan kepentingan pribadi masing-masing.
Kedua, sebuah masyarakat, seperti apa pun dan di mana pun berada, selalu dapat dibedakan satu sama lain dengan melihat satu hal, yaitu bagaimana tingkat penerapan prinsip kerjasama dan saling tolong-menolong antarindividu masyarakat tersebut dalam semua sendi kehidupan. Jika kerjasama dan sikap saling tolong-menolong itu dilakukan sejalan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, maka mereka dapat disebut sebagai masyarakat yang adil dan baik. Tetapi, jika kerjasama dan sikap saling tolong-menolong itu dilakukan berdasarkan prinsip penindasan dan kezaliman, maka masyarakat itu harus disebut sebagai masyarakat yang zalim dan rusak.
Jika ternyata sebuah masyarakat yang baik hanya dapat dibentuk berdasarkan prinsip keadilan bagi semua anggota masyarakat yang bersangkutan dalam mencari sumber penghidupan, maka apa sebenarnya yang dapat menjamin kelanggengan nilai-nilai keadilan serta penerapannya dalam bentuk yang sebaik-baiknya dalam masyarakat?
Satu-satunya yang dapat menjawab pertanyaan ini adalah adanya sesuatu yang sesuai dengan norma kewajaran dan fitrah manusia, yang tak lain adalah prinsip persaudaraan dan saling menyayangi. Setelah itu, barulah kekuasaan dan undang-undang memainkan perannya.
Mengapa begitu? Karena sekuat apa pun kekuasaan berusaha menerapkan prinsip-prinsip keadilan antar anggota masyarakat, pasti sia-sia jika tidak dilandasi persaudaraan antara mereka. Hubungan bermasyarakat yang tidak dilandasi persaudaraan justru menjadikan nilai-nilai keadilan sumber munculnya perasaan dengki dan kecemburuan. Pada gilirannya, memunculkan kezaliman dan kesewenang-wenangan dalam bentuk paling buruk.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjadikan nilai persaudaraan yang beliau sematkan di kalangan Muhajirin dan Anshar sebagai landasan bagi penerapan prinsip-prinsip keadilan sosial, untuk kemudian diterapkan dalam sebuah masyarakat yang diakui sebagai salah satu masyarakat paling teratur yang pernah ada di muka bumi.
Secara bertahap, prinsip keadilan dalam masyarakat Madinah tumbuh menjadi aturan hukum dan peraturan syariat yang berlaku bagi semua kalangan. Dan, kesemuanya itu dibangun di atas landasan pokok yang pertama, yaitu persaudaraan Islam (ukhuwwah Islamiyyah). Jika bukan karena persaudaraan agung yang dibangun di atas landasan akidah Islam ini, tentu semua prinsip luhur itu tidak akan memberi pengaruh positif bagi masyarakat Islam.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi