Kedua, kedudukan Isra’ dan Mi’raj di antara peristiwa penting yang terjadi pada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.
Pada saat itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mendapat perlakuan keji dari orang-orang musyrik. Terakhir, sewaktu hijrah ke Thaif, beliau diserang masyarakat di sana, sebagaimana sudah dipaparkan pada bagian terdahulu. Sambil bersandar di bawah pohon kurma, di kebun milik dua anak Rabi’ah, beliau berdoa. Dalam doa itu terpancar jelas keluh-kesah seorang manusia biasa. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengadu kepada Allah Swt. Beliau membutuhkan penolong. Hal itu menunjukkan penghambaan seorang manusia kepada Tuhannya. Dan hal yang dilakukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam itu, tampak jelas arti dari ketergantungan kepada Allah Swt. dan harapan besar akan anugerah dan pertolongan-Nya. Tampaknya, saat itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam khawatir, jangan iangan kejadian yang menimpanya di Thaif disebabkan murka Allah Swt. Kekhawatiran itu tersirat dalam bait doanya, “Jika Engkau memang tidak murka padaku, maka aku tak peduli (apa-apa lagi).”
Setelah cobaan datang bertubi-tubi, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam “diundang” untuk melaksanakan Isra’ dan Mi’raj. Adalah kehormatan bagi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mendapatkan undangan itu langsung dari Allah Swt. Bisa jadi, Allah Swt. melakukan itu untuk memompa semangat baru bagi keteguhan hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Di samping itu, peristiwa lsra’ dan Mi’raj juga menjadi bukti bahwa peristiwa yang dialami Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bukan disebabkan murka Allah Swt. Semua itu adalah sunnatullah yang pantas diterima mereka yang dicintai-Nya, yaitu mereka yang berdakwah menyeru manusia ke jalan-Nya di setiap waktu dan tempat.
Ketiga, kandungan makna yang terdapat dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Isra’ yang dijalani Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ke Baitul Muqaddas dan Mi’raj beliau ke tujuh lapis langit menunjukkan kemuliaan dan kesucian Baitul Muqaddas di sisi Allah Swt. Dalam peristiwa itu juga terdapat petunjuk yang jelas akan adanya hubungan yang kuat antara waktu yang dibawa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, Isa ibn Maryam as., dan nabi-nabi lainnya.
Peristiwa ini juga mengajarkan bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap Baitul Muqaddas. Mereka wajib menjaga rumah suci ini dari semua musuh Islam. Hikmah inilah yang masih terasa sampai sekarang. Umat Islam tidak boleh bersikap lemah, takut, apalagi merendahkan diri di hadapan kaum Yahudi yang menginjak-injak tanah suci kita. Baitul Muqaddas harus dibersihkan dari najis bangsa Yahudi. Rumah suci ini harus dikembalikan ke tangan kaum beriman.
Mungkin saja peristiwa Isra’ Mi’raj inilah yang membuat Shalahuddin Al-Ayyubi rahimahullah begitu gagah berani mengerahkan pasukannya untuk menggempur dan mengusir pasukan salib dari tanah suci. Akhirnya, musuh-musuh Islam itu pun berhasil dipaksa keluar dari Yerussalem.
Keempat, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam lebih memilih susu dan menolak khamar yang disodorkan Jibril. Peristiwa simbolik ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama fitrah. Agama yang akidah dan ajarannya sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada satu pun bagian dalam Islam yang bertentangan dengan watak dasar manusia. Andai kata fitrah manusia memiliki wujud fisik, agama Islam adalah pakaian yang benar-benar pas untuknya.
Inilah salah satu rahasia mengapa Islam begitu cepat menyebar luas dan mudah diterima umat manusia. Kendati mencapai kemajuan peradaban dan bergelimang materi, manusia akan selalu dituntut untuk memenuhi panggilan fitrah jiwa mereka sendiri. Selain itu, memiliki kecenderungan untuk menolak segala bentuk kepercayaan dan keyakinan yang tidak sesuai dengan tabiatnya. Islam adalah satu-satunya agama yang mampu menjawab panggilan terdalam dari fitrah manusia.
Kelima, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melakukan Isra’ Mi’raj dengan tubuh dan ruh beliau sekaligus. ltulah yang disepakati jumhur ulama, baik yang dahulu maupun yang sekarang. Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam An-Nawawl menyatakan, “Sebuah kebenaran yang telah disepakati oleh sebagian besar kalangan salaf dan seluruh kalangan mutakhir, baik dari kalangan ahli fikih, ahli hadits, maupun para ahli teologi (mutakallim), adalah bahwasannya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjalani Isra’ dengan tubuhnya juga. Atsar pun menunjukkan bukti yang sama bagi siapa pun yang mau menelitinya. Semua penjelasannya didapat dengan dalil dan hal itu pun tidak mustahil sehingga tidak perlu dilakukan takwil.”51
——
51An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, 2/390
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi