Pada prinsipnya, Baiat Aqabah kedua ini sebenarnya memiliki esensi yang sama dengan Baiat Aqabah pertama. Kedua baiat itu merupakan maklumat tentang beberapa tokoh yang masuk Islam di hadapan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Dalam baiat ini pula Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengikat janji setia dan penyerahan diri kepada agama Allah serta tunduk kepada perintah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.
Hanya saja, jika diteliti lebih lanjut, kita menemukan perbedaan penting antara kedua baiat ini. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut.
Pertama, penduduk Madinah yang ikut Baiat Aqabah pertama berjumlah 12 orang, sedangkan pada Baiat Aqabah kedua lebih dan 70 orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Kedua belas orang yang mengikuti Baiat Aqabah pertama itu kembali ke Madinah bersama Mush’ab ibn Umair, bukan untuk kepentingan pribadi atau beruzlah di rumah masing-masing, melainkan untuk menyebarkan berita gembira yang dibawa Islam kepada semua orang yang ada di sekeliling mereka. Selain itu, membacakan Al-Qur’an dan menjelaskan hukum yang dikandungnya. Upaya itu menjadikan Islam tersebar luas pada tahun itu juga di Kota Madinah sehingga hampir di seluruh rumah yang ada di sana terdapat muslim. Bahkan, Islam menjadi buah bibir di Madinah pada saat itu.
Seperti itulah tanggung jawab semua umat Islam, kapan pun dan di mana pun berada.
Kedua, poin-poin perjanjian yang tercantum dalam Baiat Aqabah pertama sama sekali tidak mengandung isyarat seruan jihad dengan kekuatan. Akan tetapi, pada Baiat Aqabah kedua terdapat isyarat, bahkan perintah yang secara eksplisit menyatakan perlunya berjihad, membela Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, dan berdakwah melalui berbagai cara.
Perbedaan ini muncul karena para peserta Baiat Aqabah pertama telah berjanji kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam untuk datang kembali ke tempat baiat dengan membawa orang yang lebih banyak lagi di musim haji tahun berikutnya. Di samping belum diizinkan angkat senjata, kondisi yang ada pada saat itu memang tidak kondusif untuk diserukannya perang melawan kaum kafir.
Jadi, dilihat dari beberapa klausul baiat, Baiat Aqabah pertama sebenarnya bisa disebut bersifat sementara. Klausul-klausul yang ada biasa digunakan untuk membaiat kaum perempuan. Oleh karena itu, Baiat Aqabah pertama pun acapkali disebut Baiat Perempuan.
Sementara itu, Baiat Aqabah kedua merupakan baiat yang menjadi landasan bagi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam untuk melakukan hijrah ke Madinah. Baiat Aqabah kedua ini meliputi berbagai hal mendasar yang akan diimplementasikan nanti setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam hijrah. Bagian paling utama dari Baiat Aqabah kedua ini adalah jihad dan pembelaan terhadap dakwah dengan menggunakan kekuatan. Pada saat Baiat Aqabah kedua dilakukan, sebenarnya penggunaan kekuatan untuk melindungi dakwah belum diperintahkan oleh Allah Swt. Akan tetapi, rupanya Allah Swt. telah memberi ilham kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bahwa hal itu akan diperintahkan nanti setelah beliau hijrah ke Madinah.
Dari uraian ini, dapat digaris-bawahi bahwa perintah jihad dengan senjata dalam Islam baru diturunkan setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam hijrah ke Madinah. Hal ini jelas berbeda dengan pernyataan Ibnu Hisyam bahwa penggunaan kekuatan senjata telah diperintahkan sejak sebelum hijrah, yaitu pada peristiwa Baiat Aqabah kedua. Alasannya, tidak ada satu pun klausul dalam Baiat Aqabah kedua yang memerintahkan perang. Adapun Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang pada saat itu mengambil janji dari orang-orang Madinah untuk siap berjihad, tak lain sebagai persiapan untuk masa selanjutnya, ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam benar-benar hijrah ke Madinah dan menetap bersama mereka. Ini dibenarkan sebuah hadits yang telah dikutip pada bagian lalu yang berisi keterangan bahwa setelah Baiat Aqabah kedua, Abbas ibn Ubadah berkata kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, jika engkau mau, besok kami siap meluruskan keluarga kami, sekalipun harus dengan pedang.” Akan tetapi, pada saat itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Kita tidak diperintahkan untuk berbuat seperti itu. Sekarang kembalilah ke kafilah kalian.”
Telah disepakati bahwa ayat pertama yang turun berkenaan dengan perintah jihad adalah firman Allah yang berbunyi, “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu,” (QS Al-Hajj 22] : 39).
Imam At-Turmudzi, Imam Nasai, dan beberapa ahli hadits lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., “Setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam diusir dari Mekah, Abu Bakar berseru, ‘Mereka telah mengusir Nabi mereka. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya). Pastilah mereka akan binasa.” Ibnu Abbas lalu berkata, “Maka, Allah Swt. kemudian menurunkan sebuah ayat yang berbunyi, ‘Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka,” (QS Al-Hajj [22]: 39). Abu Bakar ra. berkata, “Saat itu aku tahu bahwa kelak akan terjadi perang.”63
Mengapa perintah jihad dengan kekuatan senjata baru turun pada saat itu? Berikut ini beberapa hikmah yang terkandung di dalamnya.
- Amatlah tepat jika pengenalan terhadap Islam, seruan kepadanya, penegakan ajarannya, dan upaya menyingkirkan semua halangan yang mungkin muncul dalam memahaminya, dilakukan lebih dulu daripada penggunaan kekuatan senjata. Jadi, dakwah dan pemahaman merupakan tahap awal sebelum jihad. Itulah mengapa jihad dihukumi fardu kifayah; gugur jika sebagian umat Islam telah melakukannya.
- Karena Allah Swt. mengasihi dan menyayangi hamba-Nya, Dia tidak membebani mereka dengan kewajiban berjihad, kecuali telah tersedia Dar al-Islam sebagai tempat berlindung dan tempat tinggal yang baik bagi mereka. Madinah Al-Munawwarah merupakan Dar al-Islam pertama dalam sejarah Islam.
———————
63An-Nasai, 2/52 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/224.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi