Kelima. Berkenaan dengan apa yang terjadi pada Suraqah dan kuda yang ditungganginya ketika penjahat Quraisy itu nyaris berhasil mengejar Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, seharusnya kita tidak lupa bahwa itu adalah salah satu mukjizat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Kesahihannya telah disepakati semua ulama hadits yang kemudian meriwayatkan untuk kita semua, termasuk Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Jadi, Anda tidak perlu ragu bahwa peristiwa ajaib itu memang mukjizat yang dianugerahkan Allah Swt. kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.
Keenam. Salah satu mukjizat paling menonjol dalam rangkaian peristiwa hijrah ini adalah ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam keluar dari kediaman beliau yang sebenarnya sudah dikepung rapat oleh orang-orang musyrik yang ingin menghabisinya. Tiba-tiba saja mereka semua tertidur sehingga tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah keluar. Kehinaan terhadap orang-orang musyrik itu kemudian ditambah lagi dengan bertaburnya debu di atas kepala mereka yang disebarkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sambil merapalkan sebuah ayat Al-Qur’an, “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka semua sehingga mereka tidak dapat melihat,” (QS. Yasin [36]: 9).
Mukjizat ini menjadi semacam maklumat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik di sepanjang masa, bahwa semua kesulitan dan kekejaman yang dihadapi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan sahabat-sahabat beliau dalam perjalanan panjang menegakkan agama, sebenamya sama sekali tidak berarti Allah Swt. meninggalkan mereka. Bukan pula berarti mereka semakin jauh dari kemenangan. Oleh karena itu, orang-orang musyrik dan semua pihak yang memusuhi Islam jangan dulu bergembira, sebab pertolongan Allah Swt. amatlah dekat. Jalan menuju kemenangan selalu terbuka untuk umat Islam.
Ketujuh. Sambutan hangat penduduk Madinah terhadap kedatangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menunjukkan kecintaan yang sangat besar, yang tersemat di dalam hati setiap sahabat Anshar, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Kala itu, setiap hari orang-orang Anshar keluar ke pusat kota Madinah untuk menunggu kedatangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di bawah terik matahari. Dan ketika matahari kembali ke peraduan, mereka kembali ke kediaman masing-masing. Begitu seterusnya sampai Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam benar-benar hadir di tengah mereka. Hati mereka pun berbunga-bunga. Lidah mereka tiada henti menyenandungkan syair kegembiraan menyambut Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pun membalas luapan cinta mereka. Sampai-sampai, melihat anak-anak Bani Najjar mengelilinginya sambil menyenandungkan syair, beliau bersabda, “Apakah kalian menyukai diriku? Demi Allah, sesungguhnya hatiku pun menyukai kalian.”
Semua itu menunjukkan kepada kita bahwa kecintaan terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bukan hanya diwujudkan dengan mengikuti beliau. Kecintaan terhadap beliau harus dijadikan landasan untuk mengikuti beliau. Sebab, jika bukan karena cinta yang tulus di dalam hati, tidak akan muncul dorongan untuk mengikuti yang dicintai.
Terlalu picik untuk memaknai cinta kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam hanya dengan “mengikuti”. Mereka rupanya alpa bahwa tindakan “mengikuti” tidak dapat terlaksana tanpa pendorong. Padahal, tidak ada pendorong yang lebih kuat bagi tindakan “mengikuti” selain cinta dalam hati yang meresap ke seluruh jiwa dan raga. Oleh karena itu, hati Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam jadikan timbangan untuk mengetahui keimanan seseorang terhadap Allah Swt. Kecintaan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam hati harus lebih besar daripada kecintaan kepada anak, orang tua, dan siapa pun juga. Semua ini membuktikan bahwa cinta yang dimiliki Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam serupa dengan cinta seseorang kepada orang tua dan anak, yang sumbernya adalah rasa dan hati. Oleh karena jika sumbernya bukan hati yang tulus, maka kedua jenis cinta itu tidak dapat diperbandingkan satu sama lain.
Melihat kehidupan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang sementara waktu tinggal di kediaman Abu Ayyub Al-Anshari ra., kita dapat melihat sebuah bentuk lain dari kecintaan para sahabat kepada beliau.
Coba bayangkan bagaimana Abu Ayyub Al-Anshari dan istrinya mencari berkah (tabarruk) dengan memakan makanan yang tersisa dari hidangan yang mereka berikan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Berarti, mencari berkah dengan sesuatu yang tersisa dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam adalah syariat yang direstui beliau.
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan begitu banyak hadits yang menuturkan kebiasaan mencari berkah (tabarruk) dari sisa atau bekas Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Atau, ber-tawassul dengan benda-benda itu untuk mencari kesembuhan, pertolongan, taufik, dan sebagainya.
Di antara hadits yang berbicara tentang mencari berkah atau tabarruk ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam kitab Ash-Shahih pada bagian Kitab Al-Libas pada bab Ma Yudzkaru fi Asy-Syaib (hal-hal yang berkenaan dengan uban). Di dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa Umm Salamah ra., istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, pernah mengumpulkan rambut Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di dalam sebuah botol. Ketika salah seorang sahabat terserang sakit mata atau penyakit lainnya, ia akan mengirimkan air kepada Umm Salamah ra. Selanjutnya, Umm Salamah ra. biasanya akan mencelupkan rambut Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ke dalam air itu, untuk kemudian diminum oleh yang bersangkutan dengan niat ber-tawassul dan ber-tabarruk dari rambut Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.
Senada dengan itu, sebuah hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Kitab Al-Fadhail pada bab Thib Araqih Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam (wanginya keringat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam). Di dalam hadits itu disebutkan bahwa pada suatu hari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam masuk ke kediaman Umm Salim ketika ia tidak di rumah, kemudian tidur di atas ranjangnya. Tidak lama kemudian, Umm Salim muncul. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam kala itu sedang berkeringat. Maka, Umm Salim pun mengumpulkan keringat itu dengan cara memerasnya dari kain alas tidur Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah botol. Sesaat kemudian, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam terjaga dan langsung bertanya kepada Umm Salim, “Apa yang kau lakukan, wahai Umm Salim?” Umm Salim menjawab, “Wahai Rasulullah, kami mencari berkah dari keringat ini untuk anak-anak kami yang masih kecil.” Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Engkau benar,” (HR Muslim).
Sebuah hadits yang termaktub di dalam Ash-Shahihayn menuturkan bahwa para sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sering kali berlomba untuk mendapatkan air bekas wudhu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam demi mencari berkah. Para sahabat juga banyak ber-tabarruk melalui pakaian atau gelas yang telah digunakan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam76.
76Syekh Nashiruddin Al-Albani berpendapat bahwa hadits-hadits seperti ini tidak lagi bermanfaat di zaman sekarang. Beliau menyatakan ini dalam sebuah kritik terhadap hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang dinukil oleh Prof. Muhammad al-Muntashir Al-Kattani untuk digunakan oleh para mahasiswa di fakultas syariah.
Sementara itu, menurut hemat kami, pendapat Al-Albani ini amatlah berbahaya dan tidak pantas terlontar dari mulut seorang muslim. Alasannya, karena semua ucapan, perbuatan, dan penetapan yang muncul dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam merupakan bagian dari syariat. Dan, syariat itu berlaku umum di sepanjang sejarah sampai hari kiamat, selama tidak ada ayat Al-Qu’an atau hadits shahih yang me-naskh -nya (menghapuskannya). Salah satu manfaat dari penetapan syariat adalah pengetahuan dan keyakinan terhadap hukum agama. Sementara itu, hadits-hadits yang telah kami sebutkan pada bagian ini adalah hadits-hadits yang berstatus shahih dan tidak pernah di-naskh, baik oleh Al-Qur’an maupun oleh hadits shahih. Berarti, kedudukan hukum dari kandungan hadits ini berlaku abadi sampai hari kiamat. Kesimpulannya, sama sekali tidak ada larangan bagi kita untuk ber-tawassul atau ber-tabarruk dengan sisa atau bekas sesuatu dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Di samping itu, kita juga boleh ber-tawassul dengan kedudukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di hadapan Allah Swt. Semua itu adalah ketetapan yang berlaku di sepanjang zaman. Jadi, bagaimana mungkin semua itu disebut ”tidak lagi bermanfaat di zaman sekarang?!”.
Diduga kuat, Syekh Nashiruddin Al-Albani berani menganggap tawassul dan tabarruk sudah tidak berguna lagi di zaman sekarang, karena kandungan hadits-hadits shahih yang membicarakan mengenai tawassul ternyata tidak sejalan dengan madzhab yang dianutnya. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama, ketidaksesuaian madzhab sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai penghapus (nasikh) bagi nash yang shahih.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi