Ketika mengetahui keberadaan makhluk gaib seperti bangsa jin ini berdasarkan kabar meyakinkan dan mutawatir, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun sunah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, keberadaan makhluk gaib itu menjadi bagian dan pengetahuan agama yang harus diyakini secara mutlak. Bahkan, kaum muslimin telah sepakat menyatakan bahwa mengingkari atau meragukan keberadaan jin berakibat kemurtadan. Alasannya, mengingkari keberadaan jin berarti mengingkari pengetahuan agama yang harus diyakini secara mutlak.
Sebagai orang yang berakal sehat, kita jangan terperangkap kebodohan dengan menyatakan tidak akan mempercayai segala yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya membuat kita tidak mempercayai keberadaan jin, hanya karena tidak pernah melihat jin dengan mata kepala sendiri.
Sangat aneh jika orang terpelajar seperti mereka dicap bodoh. Mereka menolak keberadaan sekian banyak makhluk, hanya karena makhluk itu tidak dapat dilihat. Padahal, sebuah prinsip ilmiah yang sangat terkenal menyatakan: yang tidak dapat dirasakan bukan berarti tidak ada. Dengan kata lain, ketidakmampuan melihat sesuatu yang sedang diteliti tidak dapat melahirkan kesimpulan bahwa sesuatu itu tidak ada.
Kelima, apa sebenarnya urgensi semua yang dilihat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam perjalan ke Thaif? Apa pula pengaruhnya terhadap jiwa beliau?
Jawabannya, sebuah hadits yang disabdakan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, kepada Zaid ibn Haritsah ra. menjawab pertanyaannya, “Bagaimana mungkin engkau akan kembali ke Mekah, sedangkan mereka (penduduk Mekah) telah mengusirmu?’
Dengan penuh keyakinan dan ketenangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjawab, “Wahai Zaid, sesungguhnya Allah telah menjadikan dari apa yang kau lihat, jalan keluar. Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan menunjukkan nabi-Nya.”
Jadi, semua serangan dan perlakuan buruk yang dihadapi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di Thaif, hal serupa juga sering kali beliau alami di Mekah.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi