Pelajaran dan Bahan Renungan bagian 4
Ketiga, tindakan Zaid ibn Haritsah ra. yang melindungi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan tubuhnya dari lemparan batu orang-orang Thaif, sehingga kepalanya sobek. Kita menemukan sebuah contoh, bagaimana seharusnya sikap setiap muslim terhadap para imam mereka. Mereka harus siap melindungi para imam dakwah meskipun harus bertaruh nyawa.
Demikianlah sifat para sahabat terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Karena sekarang Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sudah tidak lagi hidup bersama kita, semangat membela betiau tidak lagi dapat dilakukan dengan cara seperti yang dilakukan para sahabat. Harus dengan cara yang berbeda, yaitu dengan menguatkan hati kita untuk jangan sekali-kali mengeluh ketika menghadapi rintangan dakwah. Kita juga dapat melakukan pembelaan terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan cara melakukan apa pun yang kita mampu untuk ikut “memikul beban” yang dulu pernah dipikul beliau.
Hikmah lain dari peristiwa ini adalah pentingnya keberadaan pemimpin dakwah di setiap masa untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Semua umat Islam hendaknya juga siap menjadi “prajurit” yang dengan penuh keikhlasan mendukung para pemimpin mereka dengan jiwa dan raga, sebagaimana dulu dilakukan para sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.
Keempat, kisah yang dituturkan Ibnu Ishaq yang mensinyalir adanya beberapa jin yang mendengarkan bacaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ketika sedang shalat di Nafilah. Selain membuktikan keberadaan jin, juga menandaskan bahwa mereka mukallaf (wajib memikul “beban” hukum syariat), pun bahwa di antara mereka ada yang beriman kepada Allah dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, tetapi ada pula sebagian yang kufur. Kesimpulan ini bisa dikategorikan qath’i (pasti benar) karena didukung keterangan Al-Qur’an yang memiliki kedudukan qath’i dan gamblang (sharih). Dalam surah Al-Ahgaf, Allah Swt. berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur’an, rnaka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata, Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).’ Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, ‘Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab Al Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih,”‘ (QS Al-Ahqaf [46): 29-31).
Perlu diketahui, kisah yang dinukil Ibnu Ishaq dan diriwayatkan Ibnu Hisyam dalamAs-Shah ini didukung hadits lain yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam At-Turmudzi dengan detail keterangan yang berbeda.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi