Pelajaran dan Bahan Renungan bagian 2…
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Aisyah ra. disebutkan, ia bertanya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, “Wahai Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, adakah hari yang lebih berat bagimu dari perang Uhud?”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjawab, “Aku pernah mengalami sesuatu dari kaummu. Menurutku, peristiwa itu lebih berat daripada hari Aqabah, yaitu ketika aku mengajukan diriku kepada Ibnu Abd Yalil ibn Abd Kalal, tetapi ia tidak memenuhi permohonanku. Maka aku pun pergi dengan wajah muram. Aku tidak mengangkat kepalaku sampai tiba di Qarn Ats-Taalib. Di sana aku mengangkat kepala, dan ternyata aku sudah berhadapan dengan awan (bayang-bayang) yang menaungiku. Aku pun melihat awan itu, dan ternyata di situ ada Jibril. Ia berseru kepadaku, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar umpatan kaummu terhadapmu. Allah telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk menerima perintah apa pun darimu.’ Maka, malaikat penjaga gunung itu memanggilku, mengucapkan salam, kemudian berkata, Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah Swt. telah mendengar umpatan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung-gunung, dan Tuhanku telah mengutusku kepadamu. Engkau boleh perintahkan aku mengerjakan apa pun yang kau mau. Apa yang kauinginkan? Jika kau mau, aku dapat menimpakan dua buah gunung kepada mereka.’ Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda; “Tidak, aku hanya ingin memohon, semoga Allah berkenan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang mau menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun juga.”
Jadi, dengan tindakan itu, sebenarnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sedang mendidik para sahabat dan seluruh umatnya untuk selalu berpegang pada kesabaran, sebagaimana beliau contohkan ketika menghadapi berbagai macam kesulitan dan rintangan dalam menempuh jalan Allah Swt.
Jika ada yang bertanya, mengapa setelah kejadian itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berdoa dan berkeluh-kesah kepada Tuhannya? Apa sebenarnya maksud doa Rasulullah yang berisi kegundahan dan kejemuan atas berbagai usaha yang tak kunjung membuatkan basil apa-apa selain siksaan dan caci-maki?
Jawabannya, segala bentuk pengaduan yang dipanjatkan kepada Allah merupakan ibadah pada-Nya. Selain itu, menunjukkan kerendahan diri dan kehinaan di hadapan pintu ketaatan kepada Allah Swt. Cobaan dan kesulitan memiliki implikasi tertentu. Implikasi paling penting adalah mendorong seseorang ke jalan Allah Swt. Petaka juga akan membuat orang yang mengalaminya terendam dalam tclaga penghambaan diri kepada-Nya. Jika begitu, kesabaran menghadapi malapetaka dan berkeluh-kesah kepada Allah Swt. sejatinya tidaklah bertentangan. Hebatnya, sepanjang hidup Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam selalu mengajarkan kedua hal tersebut. Dengan bersabar menghadapi malapetaka, beliau telah mengajarkan kepada kita bahwa hal itu merupakan tanggung jawab setiap muslim, khususnya para dai. Dengan kebiasaannya merajuk dan mengadukan segala sesuatu kepada Allah Swt., Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengajari kita akan arti penting ibadah dan segala kelengkapannya.
Setinggi apa pun kedudukan yang dicapai jiwa, ia tetap tidak akan bisa keluar dari kawasan kemanusiaannya. Apalagi indra dan perasaan manusia diciptakan sesuai fitrahnya. Hal yang menyenangkan pasti terasa nikmat dan siksaan akan terasa pedih tak terperi. Dalam hal ini, manusia cenderung menyukai yang pertama (nikmat), takut dari yang kedua (siksa).
Ini berarti, meskipun Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mampu menyiapkan jiwanya untuk menghadapi berbagai macam bahaya dan siksaan di jalan Tuhan, beliau tetap seorang manusia biasa, merasa sakit ketika disakiti dan merasa senang bila mendapatkan kenikmatan.
Demi mendapatkan keridhaan Tuhan, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam rela menghadapi bahaya apa pun di jalan Allah Swt., kendati tidak mengecap manisnya kesenangan. Tidak diragukan lagi, semua itu beliau lakukan demi mengharapkan pahala dan Allah. Hal ini mempertegas maksud taklif yang harus dipikul semua manusia, tanpa terkecuali.
Sumber : Fiqih Sirah karya Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi